Dituding Aprindo Tak Punya Itikad Baik Bayar Utang Rafaksi Migor, Kemendag Enggan Berkomentar
Roy menuding bahwa Kemendag tak memiliki itikad baik untuk membayar utang rafaksi minyak goreng pemerintah.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Sanusi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemendag) enggan berkomentar perihal tudingan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey.
Roy menuding bahwa Kemendag tak memiliki itikad baik untuk membayar utang rafaksi minyak goreng (migor) pemerintah.
Mengetahui hal itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim enggan berkomentar lebih lanjut mengenai tudingan tersebut.
Baca juga: Aprindo Resah Utang Rafaksi Migor Rp344 M Tak Dibayar Pemerintah, Ancam Lakukan Ini
Hal itu dikarenakan Kemendag harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
"Saya belum bisa komentar dulu, akan koordinasi kembali dengan Kemenkopolhukam," kata Isy kepada Tribunnews, Sabtu (19/8/2023).
Adapun tudingan ini dilayangkan Roy setelah tenggat waktu tiga bulan yang diberikan pihaknya kepada pemerintah untuk membayar utang rafaksi migor, telah habis dan belum kunjung dibayarkan.
"Sampai saat ini kemendag tidak ada itikad baik buat bayar, makanya dikasih semua keputusan di tangan peritel," kata Roy dalam konferensi pers di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Roy mengatakan, beberapa langkah telah disepakati pengusaha ritel apabila utang rafaksi migor tak kunjung dibayar.
Ia mengaku tak bisa menahan para pengusaha agar tidak menempuh langkah-langkah ini.
"Sekarang Aprindo menyatakan hands up (angkat tangan) dan para peritel sudah merasakan dirugikan sekarang. Mereka bisa saja melakukan berbagai cara, di antaranya memotong tagihan dan menghentikan pembelian (dari produsen migor)," ujar Roy.
Saat ini, kata dia, pihaknya hanya bisa menindaklanjuti kepada Kemenkopolhukam soal utang rafaksi migor ini. Sebelumnya, Aprindo memang sempat menyambangi kantor kementerian pimpinan Mahfud MD tersebut untuk membicarakan ini.
Baca juga: Utang Rafaksi Minyak Goreng Akan Dibahas di Rakortas Tingkat Menteri, Kemendag Pastikan Tetap Bayar
Roy kemudian mengatakan, bila pengusaha ritel memutuskan melangsungkan aksi-aksi mereka, ada potensi dampak yang bisa terasa.
Contohnya berdampak pada ketersediaan stok migor di toko ritel atau dapat muncul situasi dan kondisi tertentu.
"Pasti kan ada aspek masalah. Bisa saja produsennya menyetop (setelah perusahaan ritel memotong tagihan), 'Bayar dulu dong tagihan. Ini kan bukan rafaksi.' Dia (produsen) nyetop pasokan," ujar Roy.
"Nah kalau menyetop pasokan, ada enggak minyak goreng di toko? Kita enggak tahu," lanjutnya.
Sebagai informasi, persoalan utang rafaksi minyak goreng yang belum dibayar pemerintah kepada peritel tak kunjung selesai.
Masalah ini pertama kali mencuat ketika utang penggantian selisih harga jual dengan harga keekonomian atau rafaksi minyak goreng senilai Rp344 miliar pemerintah kepada peritel tak dibayarkan.
Awalnya, utang ini ada karena saat terjadi kelangkaan minyak goreng pada Januari 2022, pemerintah menugaskan Aprindo dan anggota di dalamnya untuk menjual minyak goreng di tingkat pengecer sebesar Rp14 ribu per liter. Padahal, saat itu minyak goreng di pasaran dijual di atas itu.
Maka dari itu, pemerintah akan menanggung rafaksinya atas selisih harga pokok pembelian pada harga ke-ekonomian dengan harga penjualan di tingkat pengecer sebesar Rp14 ribu per liter seluruh tipe kemasan Migor.
Namun, setelah pergantian menteri dari Muhammad Lutfi ke Zulkifli Hasan, Aprindo tak kunjung mendapatkan uang selisih yang dijanjikan Kementerian Perdagangan.
Malahan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut tak ada landasan hukum bagi pihaknya untuk membayar utang tersebut.
Baca juga: Pemerintah Minta Utang Rafaksi Minyak Goreng Diaudit, Ini Respons BPKP
Akhirnya, Aprindo menempuh banyak jalan untuk memperjuangkan agar utangnya dibayar. Mereka melakukan audiensi dengan Kantor Staf Presiden dan RDPU dengan DPR.
Adapun tagihan yang harus dibayar pemerintah kepada Aprindo sebesar Rp344 miliar melalui dana BPDPKS. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga meminta pemerintah membayarnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) pun mengatakan akan membayar utang ini setelah legal opinion (LO) dari Kejaksaan Agung.
Setelah LO tersebut keluar, Kemendag diminta untuk membayarnya. Namun, mereka kemudian masih meminta PT Sucofindo untuk melakukan verifikasi pada angkanya. BPKP juga diminta untuk memeriksanya.
Hingga kini, sampai hasil dari pemeriksaan BPKP keluar, yang mana disebutkan pemerintah harus membayarnya, Aprindo belum kunjung mendapatkan utang mereka.