Pertalite Diganti Pertamax Green 92, Harga Bakal Tetap Rp10.000? Ini Kata Pertamina dan Menteri ESDM
Produk Pertamax Green 92 merupakan BBM Pertalite yang dicampur dengan 7% etanol (E7).
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, - PT Pertamina (Persero) mengusulkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yakni Pertalite diganti dengan Pertamax Green 92.
Usulan tersebut disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebagai langkah tindak lanjut Program Langit Biru Tahap II dan telah melalui kajian internal perusahaan.
"Ini hasil kajian internal kami. Kami mengusulkan ke pemerintah, namun implementasinya tentu menjadi ranah pemerintah untuk memutuskan," kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, yang kembali ditulis Kamis (31/8/2023).
Baca juga: Analis Pesimis Penghapusan Pertalite pada 2024 Terealisasi, Trubus: Pemerintahan Mau Berganti
Asal tahu saja, selama ini Pertalite (RON 90) ditetapkan sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) di mana harganya disubsidi dan ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu Rp10.000 per liter.
Sebelumnya BBM RON 90 atau Pertalite ditetapkan sebagai JBKP berdasarkan atas Kepmen ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang JBKP. Produk Pertalite ditetapkan sebagai JBKP menggantikan Premium (RON 88).
Nicke menyebut, produk Pertamax Green 92 merupakan BBM Pertalite yang dicampur dengan 7 persen etanol (E7).
Nicke pun berharap dukungan untuk penghapusan pengenaan bea untuk produk etanol.
Menurutnya, selama ini produk etanol dikategorikan sebagai produk alkohol sehingga masih dikenakan bea cukai.
"Kita masih belum memikirkan keuntungan karena masih ada penerapan bea cukai Rp 20.000. (Sementara) ini tidak digunakan untuk alkohol tapi untuk energi," jelas Nicke.
Nicke menambahkan, pihaknya mengharapkan dukungan agar pengenaan bea untuk etanol ini dapat dihapuskan. Sejauh ini, produk Pertamax Green 95 yang mencampurkan 8% etanol pun turut dikenakan bea tersebut.
Harga Pertamax Green 92
Nicke menyampaikan jika nanti usulan Pertalite diganti Pertamax Green 92 dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah.
"Ini belum ada keputusan apapun dari pemerintah, tentu ini akan kami usulkan, akan kami bahas lebih lanjut. tentu saja ketika ini menjadi program pemerintah pertamax green 92, harganya pun ini regulated, tidak mungkin yg namanya JBKP harganya diserahkan ke pasar," papar Nicke.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto menyatakan Pertalite tidak akan dihapus, hanya saja Pertamina akan menaikkan kadar oktannya dari RON 90 menjadi RON 92.
“Pertalite tidak dihapus dan tetap dengan harganya Rp 10.000 per liter hanya saja RON dinaikkan kualitasnya jadi ke 92. Itu tidak ada penghapusan, tidak ada penghentian,” ujarnya ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (31/8/2023).
Respon Menteri ESDM
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, pihaknya belum mengkaji lebih lanjut terkait adanya usulan penghapusan produk BBM dengan kadar oktan terendah milik Pertamina, yakni Pertalite.
Pertamina saat ini tengah mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan BBM Subsidi RON 90 menjadi RON 92.
Hal tersebut dilakukan dengan mencampur Pertalite dengan Ethanol 7 persen sehingga menjadi Pertamax Green 92.
Baca juga: Wacana Pertalite Dihapus Tahun Depan, Analis Kebijakan Publik: Masyarakat Kelas Bawah Akan Menangis
Menurut Arifin, pencampuran Pertalite dan Ethanol bakal memakan biaya produksi yang lebih tinggi. Namun di satu sisi, Pertalite merupakan BBM bersubsidi.
"(Kalau ditambah bioetanol) ya bagus. (Tapi biaya ongkos produksi) jadi naik. Siapa yang mau bayar?" ucap Arifin di saat ditemui di Gedung DPR-RI Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Menurutnya, berbeda halnya dengan Pertamax yang merupakan BBM nonsubsidi, sehingga formula terkait harga penjualan dapat diatur oleh Pertamina.
"Jadi memang ini perbedaan pertamax dan pertalite, gara-gara harga crude (minyak mentah) makin naik, Pertamax kan nonsubsidi, biaya produksi juga naik. makanya gap juga tinggi," papar Arifin.
Pemerintah Diminta Berhati-hati
Sementara itu, Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, Indonesia pernah beranjak ke biodiesel untuk menekan impor, tetapi dengan subsidi yang sangat besar sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun.
“Harus diperjelas adopsi bioetanol ini untuk kepentingan apa, dan bila ada disparitas harga, siapa yang akan menanggungnya,” ujarnya kepada Kontan.co.id lewat pesan teks.
Berdasarkan Harga Indeks Pasar ESDM, harga bioetanol kerap berfluktuasi dari kisaran Rp 11.500 sampai mendekati Rp 14.800 per liter.
Baca juga: Apa Itu Pertamax Green 92? BBM Pengganti Pertalite yang akan Dihapus Tahun Depan
Putra menyebut, setidaknya ada dua hal yang perlu diawasi jika rencana Pertamax Green 92 untuk menggantikan Pertalite jadi dieksekusi.
Pertama, kejelasan harga dan siapa yang akan menanggung bila ada harga lebih tinggi dan berfluktuasi.
Kedua, keberlanjutan bahan baku bioethanol juga harus jelas. Apa saja bahan dasarnya, efek samping seperti kompetisi dengan pangan, dan resiko pembukaan lahan harus menjadi perhatian.
Terlepas dari pro dan kontra, adopsi biodiesel berlandas pada sektor kelapa sawit yang sudah lama terbangun. Namun, lanjut Putra, hal ini sangat berbeda untuk bioetanol karena Indonesia adalah salah satu importir gula terbesar dunia, bahkan bisa melebihi China, dan baru akan memulai membangun industrinya.
“Biodiesel juga ditopang dana bea ekspor produk sawit dan konteksnya akan berbeda untuk bioetanol,” terangnya.