Social Commerce Dilarang Transaksi Jual Beli, Begini Pandangan Ekonom
Pelaku UMKM atau pedagang pasar menjadi kalah saing hingga sulit munutup biaya modal, belum lagi kebutuhan sewa.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Yang harusnya dilakukan adalah mengatur social commerce ini agar bisa setara dengan ecommerce ataupun pedagang offline.
Sehingga pada akhirnya tercipta level playing field yang setara diantara pelaku penjualan ini.
Selain itu, proteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
“Jadi saya melihat, social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya,” kata Huda.
Maka seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan ecommerce karena prinsipnya kan sama-sama jualan menggunakan internet.
Pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce.
“Tahun 2019 saya sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ,” pungkasnya.
Indef memberikan poin perbaikan di antaranya memasukkan detail pengaturan social commerce untuk disetarakan dengan ecommerce, mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan.
Kedua, online commerce harus melakukan tag-ing barang impor. Setelah itu ada dua hal yang bisa dilakukan
Ketiga, memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh dapat promo dari platform.
Di sisi lain, memberikan insentif berupa promo ke produk lokal, lalu menyediakan minimal 30 persen etalase platform untuk produk lokal.
Keempat, produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan sebagainya.
--