Aneka Kejanggalan Investasi Xinyi di Pulau Rempang yang Diklaim Bahlil Bernilai Rp 175 Triliun
Berbagai temuan kejanggalan tersebut didapat NCW dari hasil penyelidikan dan pengumpulan informasi dari banyak pihak.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasional Corruption Watch (NCW) menemukan banyak kejanggalan terakait dengan investasi perusahaan China, Xinyi Group, di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, hingga harus menggusur pemukiman warga lokal.
Ketua DPP NCW Hanifa Sutrisna mengatakan, berbagai temuan kejanggalan tersebut didapat lembaganya dari hasil penyelidikan dan pengumpulan informasi dari banyak pihak.
Pertama, perihal track record atau rekam jejak Xinyi melanjutkan komitmen investasi di Bangka Selatan dan Gresik.
Xinyi adalah perusahaan asal China yang berinvestasi sebesar US$ 11,5 miliar atau setara Rp175 triliun di Rempang.
"Sebelum Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka dengan janji akan menyiapkan US$ 6-7 miliar," kata dia, kepada wartawan di Kantor DPP NCW, Jakarta, Senin (2/10/2023).
Saat itu investasi Xinyi di Belitung digadang-gadang untuk menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa.
Rencana investasi tersebut disampaikan General Manager (GM) International Business Development Xinyi Group Cheng Gang kepada Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung Ridwan Djamaluddin di Pangkalpinang, November 2022.
“Namun, begitu akan dilanjutkan untuk proses MoA, Xinyi Glass seperti raib dan hilang tanpa kabar berita, dan beredar alasan belum dilanjutkan proyek industri kaca terbesar di ASEAN oleh Xinyi Glass karena tidak tersedianya gas di kawasan Bangka Belitung Industrial Estate, Sadai, Bangka Selatan," ucapnya.
Baca juga: Pemerintah Tidak Akan Batalkan Proyek Rempang Eco City
Tak hanya itu, perihal komitmen investasi Xinyi Glass bernilai US$ 700 juta di Gresik, Jawa Timur pada 2022, Xinyi masuk dengan menggaet mitra lokal PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera (BKMS) guna membeli lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik kaca.
“Berdasarkan perjanjian tersebut, BKMS telah setuju untuk menjual lahan dan Xinyi telah setuju untuk membeli lahan yang luas dalam rangka pembangunan pabrik produksi Kaca Xinyi di Kawasan Ekonomi Khusus JIIPE (KEK JIIPE),” tutur Hanifa.
Dia menuturkan, progres investasi di Gresik akhirnya tidak jelas, lantaran diduga rendahnya kemampuan keuangan Xinyi, yang tergambar dalam laporan keuangan konsolidasi Xinyi Glass Holdings Limited Tahun 2022, yang diaudit EY Ernst & Young's.
"Hasil laporan keuangan E&Y ini membantah jika disebut Xinyi Group perusahaan berkelas dunia dengan jangkauan pasar global yang dominan. Faktanya, 68 persen penjualan Xinyi Glass di pasar lokal China, bukan dunia," kata dia.
"Hasil audit menunjukkan nilai property plant equipment Xinyi Group hanya US$2,2 miliar dan sales revenue sebesar US$3,4 miliar, kemudian consolidate net cash flow hanya US$41 juta," lanjutnya.
Atas hal tersebut, Hanifa menuturkan bagaimana mungkin Xinyi Group bisa investasi hingga US$ 11,5 miliar.
Baca juga: Warga Rempang Tetap Akan Direlokasi, Luhut: Nggak Ada Target!
"Apakah hanya untuk menggoreng saham Xinyi Glass Holding Limited agar naik dan menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan jahat ‘investasi bodong’ perusahaan pabrik kaca asal Tiongkok tersebut?” ucap dia.
Ia menilai, pada akhirnya Xinyi kena batunya usai bentrokan terjadi antara masyarakat Pulau Rempang dan aparat.
Bahkan, adanya kejadian itu diduga membuat saham mereka turun sampai 20 persen pada 26 September 2023 lalu.
Baca juga: Menteri Bahlil Klaim Masyarakat Rempang Setujui Investasi Xinyi Rp 174 Triliun
Saham Xinyi naik pada 29 September 2023 usai Menteri Investasi Bahlil Lahadalia secara tegas menyatakan investasi Rempang Eco City tetap akan dilanjutkan dengan empat poin petunjuk dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Ini sangat terencana dan tertata rapi bahwa Xinyi ini akan dinaikkan namanya, dibuat seolah-olah ini perusahan besar," kata Hanifa.
"Yang dikatakan target berikutnya membangun pabrik kaca terbesar, sehingga investor akan memperebutkan membeli sahamnya," sambung dia.
Pihaknya turut menyoroti studi Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) Proyek Eco City Rempang yang belum dituntaskan.
Di mana terindikasi dari undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 tentang Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City.
“Ini menjadi pertanyaan publik selanjutnya, apakah sebuah mega proyek bisa dilaksanakan dan dianggap sudah melewati proses kajian yang komprehensif sehingga layak untuk diteruskan?” tuturnya.
Iklan untuk Anda: Lagu Mandarin Fei Niao He Chan, Kerinduan Ren Ran pada Kekasih Seperti Burung dan Jangkrik
Advertisement by
NCW juga menyoroti pernyataan Menteri Bahlil yang mengeklaim bahwa hanya 20 persen masyarakat Rempang yang tak setuju dipindahkan serta sebagian besar menolak lantaran tidak memiliki alas hak atas tanahnya.
“Namun rakyat di lapangan, menurut hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpercaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80 persen masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru,” kata dia.
Temuan berikutnya terkait pembiayaan relokasi serta penggusuran tanah masyarakat Pulau Rempang yang belum dialokasikan pemerintah pusat ataupun BP Batam.
Menurut Hanifa, kondisi ketidaksiapan anggaran menimbulkan tanda tanya besar publik.
"Kenapa masyarakat dipaksa segera pindah jika anggaran relokasi belum tersedia?” ujarnya.
Selanjutnya, temuan perihal awal mula konflik lahan di Pulau Rempang terjadi pada 2001 bermula dari diterbitkannya HPL (Hak Pengelolaan Lahan) oleh pemerintah pusat dan BP Batam.
HPL itu diterbitkan untuk perusahaan swasta, lalu berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.
Hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut, ditegaskan Hanifa, tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan.
"Oleh karena itu, pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati," kata dia.
“Apakah setelah sekian lama tidak dikelola oleh PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?” sambungnya.
Temuan berikutnya, Hanifa menuturkan pihaknya menemukan masih terus adanya intimidasi oleh oknum APH dan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Dilakukannya intimidasi untuk meminta masyarakat terdampak relokasi di Pulau Rempang segera menyetujui rencana relokasi ke tempat baru yang nyatanya hingga saat ini belum tersedia.
Temuan terakhir, pihaknya bertanya-tanya terhadap pernyataan Kepala BP Batam soal setoran uang wajib tahunan (UWT) yang nyatanya konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta yakni PT MEG.
“Hitungan UWT dimaksud apakah Rp7.000 dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun?” kata Hanifa.
"Jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?” tandasnya.
Laporan reporter Ramadhan LQ | Sumber: Warta Kota
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.