Tantangan dan Strategi Hilirisasi Mineral dan Batu Bara Dalam Negeri
Irwandy Arif, menyebut industri hilirisasi sesuai dengan pohon industri belum semuanya dapat dilakukan di Indonesia.
Penulis: Lita Febriani
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hilirisasi sektor mineral dan batu bara memiliki tantangan dari segala aspek. Oleh karenanya, pemerintah mendorong agar semua sektor bisa dilakukan hilirisasi mineral untuk mendapatkan nilai tambah.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif, menyebut industri hilirisasi sesuai dengan pohon industri belum semuanya dapat dilakukan di Indonesia.
Baca juga: Kemenperin: Hilirisasi Lada Kunci Sukses Dongkrak Pertumbuhan Industri Kecil dan Menengah
"Harapannya, untuk industri yang belum dilakukan di Indonesia bisa mulai dibangun dan dikembangkan dan untuk industri yang sudah ada dapat dilakukan lebih hilir lagi untuk mengoptimalkan manfaat dari eksploitasi mineral dan batubara," tutur Irwandi dalam diskusi Kesiapan Industri Pendukung Dalam Menyerap Produk Hilirasi, Menara Kompas, Jakarta, Selasa (3/9/2023).
Irwandi menambahkan, penguasaan teknologi dalam negeri harus diupayakan bertahap, seperti dengan meningkatkan peranan perusahaan domestik yang menangani EPC (Engineering Procurement Construction) di bidang pembangunan fasilitas industri hilir.
"Di samping itu, perlu kebijakan dari Kemenperin dan Kementerian ESDM sesuai peraturan/perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan bersama terhadap semua smelter, baik yang terintegrasi maupun yang independen," ungkapnya.
Lebih lanjut, Arif menyebut ada lima tantangan hilirisasi mineral dan batubara di dalam negeri. Pertama, penerapan teknologi bersih untuk mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE).
Kedua, produksi logam yang digunakan untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan green metals masih perlu ditingkatkan.
Ketiga, produksi dan ekstraksi logam masih terbatas pada logam utama belum menyentuh by products mineral ikutan.
"Keempat, pengembangan ekosistem baterai, stainless steel dan modul surya. Kelima adalah pengembangan industri hilir untuk memaksimalkan proses hilirisasi," ucap Irwandi.
Baca juga: Menunjang Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Fadel Muhammad Dukung Hilirisasi Sektor Pangan Gorontalo
Meski memiliki tantangan yang cukup besar, pemerintah sendiri juga telah menyiapkan strategi untuk memudahkan proses hilirisasi, diantaranya percepatan pembangunan pabrik pengolahan dan/atau pemurnian, pengintegrasian supply chain antara tambang dan smelter, pengembangan industri lanjutan dan aplikatif dari hasil pengolahan dan/atau pemurnian, kebijakan insentif fiskal dan non fiskal untuk mendorong pertumbuhan industri penyerap produk hilirisasi dan mendorong penguasaan teknologi pengolahan dan/atau pemurnian.
Sementara itu, Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA) Ezra Sibarani, menyampaikan tantangan utama hilirisasi mineral adalah dana.
"Baru ada Freeport yang pendanaannya cukup kuat. Perusahaan mineral ini butuh pendanaan yang cukup kuat," jelas Ezra.
Pembangunan smelter membutuhkan biaya sekitar 1 - 2 miliar dolar AS, sehingga proses pencarian pendanaan untuk jumlah tersebut, baik dalam bentuk pinjaman, investasi dari pihak lain maupun IPO bukanlah hal yang mudah.
Ezra juga menerangkan, tantangan lainnya ialah akuisisi lahan. Di beberapa tempat, masyarakat yang tinggal di lahan/menguasai lahan di lokasi pembangunan smelter akan meminta biaya pembebasan lahan yang tinggi.
"Jika mengetahui pentingnya pembangunan smelter bagi perusahaan pertambangan mineral logam agar dapat melakukan ekspor komoditasnya," ucapnya.
Ia pun menilai, pasokan listrik masih menjadi kendala dalam proses hilirisasi mineral dan batubara.
"Smelter membutuhkan pasokan listrik yang besar, sehingga perusahaan smelter membutuhkan adanya kesepakatan bisnis yang tepat dengan PLN agar mendapatkan pasokan listrik dengan harga yang murah dan stabil," imbuh Ezra.
Selain itu, masalah infrastruktur pun menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan proses pertambangan.
"Smelter sebisa mungkin dibangun di lokasi yang harga tanahnya tidak mahal, namun terdapat Infrastruktur yang memadai untuk menunjang pengangkutan komoditas, seperti pelabuhan dan kereta agar tidak perlu lagi ada tambahan biaya yang signifikan untuk pembangunan infrastruktur," ujarnya.