Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Sederet Dampak Perang Hamas Vs Israel ke Indonesia, Harga Beras Naik, Bagaimana dengan BBM?

Selain biaya impor beras akan terpengaruh, BBM juga akan lebih mahal dan berpotensi naiknya harga minyak mentah.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Sederet Dampak Perang Hamas Vs Israel ke Indonesia, Harga Beras Naik, Bagaimana dengan BBM?
AFP/MAHMUD HAMS
Salvo roket ditembakkan oleh militan Palestina dari Gaza dihadang rudal Israel dari sistem rudal pertahanan Iron Dome di atas kota Netivot di Israel selatan pada 8 Oktober 2023. Selain biaya impor beras akan terpengaruh, BBM juga akan lebih mahal dan berpotensi naiknya harga minyak mentah. 

TRIBUNNEWS.COM, - Intensitas peran antara kelompok Hamas Paletina dengan Israel yang makin memanas, turut membawa dampak negatif ke perekonomia Indonesia.

Direktur Center of Economi and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, konflik Palestina VS Israel akan memicu investor bergeser ke aset yang aman.

"Kondisi tersebut dapat memicu dolar AS menguat dalam jangka pendek. Hal itu berpotensi menaikkan harga sejumlah barang dan komoditas impor khususnya pangan," terang Bhima dikutip Rabu (11/10/2023).

Baca juga: AS Berencana Satukan Bantuan Buat Israel dan Ukraina dalam Satu Paket

"Contohnya beras, meskipun ada negara yang siap jual ke Indonesia tapi biaya impor berasnya dipengaruhi dolar AS sehingga beras impor harganya naik," sambung Bhima.

Selain biaya impor beras akan terpengaruh, BBM juga akan lebih mahal dan berpotensi menaiknya harga minyak mentah.

"Kenaikkan harga dolar AS akan menjadi kabar buruk bagi importir minyak," terangnya.

Bhima memprediksi konflik di timur tengah bisa menaikkan harga minyak mentah hingga 90-92 dolar AS per barrel, di mana saat ini dipasar spot harga minyak berkisar 83 dolar AS per barrel.

Berita Rekomendasi

"Meski naik tetap belum mampu menandingi harga saat krisis minyak mentah 1973 yang saat itu menembus rekor kenaikan tertinggi dari 2 dollar AS per barrel menjadi 11 dollar AS per barrel atau naik 450 persen," tutur Bhima

Bhima mengatakan, faktor politik dan keamanan memang punya andil, tapi pasar minyak akhir-akhir ini cenderung mengalami anomali pasokan dan permintaan sekaligus.

Beberapa faktor yang membuat harga minyak tidak seliar 1973 adalah relaksasi pembatasan ekspor minyak dari Rusia yang diperkirakan menambah pasokan minyak global.

"Kemudian belum jelasnya pemangkasan produksi minyak yang masih dibahas pada pertemuan Saudi Arabia dan Rusia pada November mendatang," kata Bhima.

Berapa banyak produksi yang dipangkas, ucap Bhima, masih teka teki.

Kemudian faktor lain adalah dolar AS yang menguat menjadi kabar buruk bagi pemain komoditas minyak karena kekhawatiran banyak negara importir minyak mengurangi permintaan impor karena selisih kurs.

"China sebagai negara konsumen energi yang besar sedang alami slowdown ekonomi hingga 2024 mendatang, dengan outlook pertumbuhan ekonomi 4,4 persen atau dibawah proyeksi Indonesia yang sebesar 5 persen. Industri di China tidak sedang ekspansi sehingga mempengaruhi demand minyak global," ujar Bhima.

Dongkrak Inflasi

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan, pemerintah harus mewaspadai peningkatan inflasi ke depan dari munculnya perang Hamas Vs Israel.

"Yang perlu diwaspadai dari sisi ekonomi adalah dampak terhadap peningkatan inflasi," ujar Faisal.

Inflasi berpotensi meningkat, menurut Faisal, terutama dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia, khususnya apabila konfliknya meluas dan berkepanjangan.

"Namun untuk jangka pendek efek terhadap inflasi masih minimal karena kedua pihak bukan major exporter minyak," kata Faisal.

Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengungkapkan, konflik tersebut tentunya akan memberikan dampak serta mendisrupsi pasar keuangan di Indonesia.

Untuk dampak langsung dari perang Israel-Palestina kepada perekonomian Indonesia sebenaraya sangat-sangat terbatas, terutama karena hubungan dagang dan investasi Indonesia yang terbatas kepada kedua negara tersebut.

"Berdasarkan pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, konflik Israel-Palestina memang akan mendorong risk-off sentiment di pasar keuangan global, namun sentimen ini cenderung bersifat temporer," ucap Josua.

Namun demikian, dampak yang mungkin lebih mempengaruhi Indonesia secara umum adalah dampaknya kepada harga minyak global.

Bila beberapa negara Timur Tengah memutuskan untuk ikut dalam konflik ini, maka mereka berpotensi melakukan pemotongan produksi minyak global dalam rangka membiayai perang.

"Dampak ini yang kemudian berpotensi mendisrupsi pasar keuangan Indonesia, APBN, serta pertumbuhan ekonomi Indonesia," ucap Josua.

Baca juga: Sekutu Lama Vladimir Putin Dukung Palestina, Nyatakan Siap Ikut Perang Melawan Israel

"Hal ini diperparah oleh tren harga komoditas lainnya, yang tidak ikut mengalami peningkatan," sambungnya.

Kondisi tersebut, lanjut Josua, berpotensi membebani belanja negara, apalagi dengan kondisi Rupiah yang masih tertekan.

Seiring dengan bensin di Indonesia yang masih disubsidi negara, dampaknya kepada inflasi cenderung terbatas kecuali pemerintah berencana untuk melepaskan subsidi energi secara umum.

Selain dari potensi kenaikan harga minyak, risiko lainnya kepada Indonesia cenderung sangat terbatas, apalagi kepada sistem keuangan Indonesia.

Dari sisi global, seiring dengan kedua negara tersebut yang bukan merupakan sumber pangan global atau energi, dampak konflik ini cenderung terbatas, kecuali bila beberapa negara Timur Tengah memutuskan untuk ikut serta dalam konflik ini.

"Bila hal tersebut terjadi, maka harga minyak akan kembali terpicu, sehingga mendorong kenaikan inflasi global. Kenaikan inflasi global pada gilirannya akan memaksa para bank sentral global untuk mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama," pungkasnya.

Pertamina Pantau Harga Minyak Dunia

Corporate Communication Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengungkapkan, pihaknya kini masih terus memonitor pergerakan harga minyak dunia.

"Sementara kami masih memonitor pergerakan harga minyak dunia. Memang harganya masih fluktuatif," ucap Irto.

Ia menegaskan, penyesuaian harga BBM khususnya jenis nonsubsidi mengikuti Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang formulasi harga JBU atau BBM nonsubsidi.

Secara berkala Pertamina memang melakukan penyesuaian harga untuk produk-produk BBM nonsubsidi sesuai regulasi yang berlaku.

Di mana regulasi yang dimaksud mengikuti tren harga rata-rata publikasi minyak dunia, yakni harga publikasi Mean of Platts Singapore (MOPS)/Argus serta nilai tukar mata uang Rupiah.

Perubahan berkala dilakukan Pertamina Patra Niaga setiap bulannya mengacu kepada tren harga publikasi MOPS/Argus pada periode tanggal 25 hingga tanggal 24 pada bulan sebelumnya

"Dan kami pastikan bahwa penentuan harga BBM Nonsubsidi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Pemerintah," pungkasnya.

Pada Senin (9/10) pukul 7.10 WIB, harga minyak WTI kontrak November 2023 di New York Mercantile Exchange melonjak 3,6 persen ke ke level 85,77 dolar AS per barel dari akhir pekan lalu 82,79 dolar AS per barel.

Sedangkan harga minyak Brent kontrak Desember 2023 di ICE Futures menguat 3,29 persen ke 87,36 dolar AS per barel dari posisi akhir pekan lalu 84,58 dolar AS per barel.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas