Bank Dunia Ingatkan Potensi Kenaikan Harga Minyak Dunia ke Level 157 Dolar AS per Barel
Jika konflik meluas melampaui perbatasan Jalur Gaza dan mengulangi embargo minyak Arab pada 1973, harga minyak bisa melonjak hingga 157 dolar AS.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Bank Dunia (World Bank) memperkirakan harga minyak mentah dunia dapat naik ke rekor tertinggi apabila perang Israel-Hamas meluas ke wilayah lain.
“Jika konflik meluas melampaui perbatasan Jalur Gaza dan mengulangi embargo minyak Arab pada 1973, harga minyak bisa melonjak hingga 157 dolar AS per barel,” kata Indermit Gill, ekonom Bank Dunia.
Harga minyak tertinggi yang pernah tercatat terjadi pada Juli 2008, ketika minyak mentah Brent berjangka diperdagangkan setinggi 147,5 dolar AS per barel, menurut data dari LSEG.
Baca juga: Jokowi Khawatir Perang Hamas-Israel Akan Berimbas Pada Kenaikan Harga Minyak Dunia
“Dalam skenario terburuk yang sebanding dengan embargo minyak Arab pada 1973, pasokan minyak global akan menyusut sebesar 6 juta hingga 8 juta barel per hari,” ujar Gill
“Hal ini akan mendorong harga naik sebesar 56 persen hingga 75 persen pada awalnya menjadi antara 140 dolar AS hingga 157 dolar AS per barel,” sambungnya.
Krisis minyak lima puluh tahun yang lalu membuat harga minyak naik empat kali lipat setelah para menteri energi Arab memberlakukan embargo ekspor minyak terhadap Amerika Serikat sebagai pembalasan atas dukungannya terhadap Israel dalam perang Arab-Israel tahun 1973, yang di dikenal sebagai Perang Yom Kippur.
“Jika konflik terus meningkat, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade,” kata ekonom Bank Dunia itu.
Meskipun Israel dan Palestina bukanlah eksportir minyak utama, tetapi konflik ini terjadi di wilayah penghasil minyak utama yang membuat kekhawatiran akan terganggunya pasokan minyak global.
“Jika konflik tidak kunjung berakhir, perekonomian global akan menghadapi guncangan energi ganda untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, tidak hanya akibat perang di Ukraina tetapi juga di Timur Tengah,” kata Gill.