Ketidakpastian Harga dan Pasar Dinilai Jadi Tantangan pada Sektor Batubara di Masa Depan
Harga batubara selama 10 tahun terakhir mengalami ketidakstabilan dalam tiga periode.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Harga batubara selama 10 tahun terakhir mengalami ketidakstabilan dalam tiga periode.
Mulai dari 2010-2016 yang stabil, 2017-2020 yang bergejolak, hingga 2021-2023 yang sangat tidak stabil.
Ketua Umum Aspebindo (Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia) Anggawira menyampaikan, kolaborasi menjadi salah satu kunci utama dala
Baca juga: Realisasi Produksi Batu Bara Sentuh 686 Juta Ton, Capai 98 Persen dari Target 2023
“Aspebindo dengan tekun berupaya merespons perubahan dinamika pasar. Kami yakin bahwa kolaborasi lintas sektor dan keterlibatan aktif semua pemangku kepentingan adalah esensial dalam menghadapi ketidakpastian di masa depan,” ujarnya dalam sebuah diskusi baru-baru ini.
Sementara General Manager Marketing PT Kaltim Prima Coal (KPC) Rahmad Desmi Fajar mengungkapkan transisi peran batubara yang semakin menurun, seiring dengan upaya global menuju energi bersih.
Meskipun China memegang peranan dominan, terutama dalam sektor pembangkit listrik, proyeksi mendatang menunjukkan kemungkinan penurunan yang substansial.
"Penting untuk mencermati peran batubara yang mengalami penurunan signifikan, mencapai puncak pada tahun 2010, dan proyeksinya yang menunjukkan penurunan hingga di bawah 20 persen pada tahun 2035. Meskipun China tetap menjadi penggerak utama permintaan, terutama di sektor pembangkit listrik, perkiraan ke depan menunjukkan penurunan yang substansial," ungkapnya.
Hal ini, menggambarkan kompleksitas fluktuasi harga batubara, dengan menyoroti peran peristiwa geopolitik, dinamika stok di China, dan tantangan produksi di dua produsen utama, Indonesia dan Australia.
"Volatilitas tinggi harga batubara selama sepuluh tahun terakhir menciptakan tiga periode kritis yang membutuhkan perhatian khusus. Faktor-faktor seperti perang di Ukraina, penurunan stok di China, dan kendala produksi di Indonesia dan Australia menjadi penyebab fluktuasi harga yang signifikan,"ujarnya.
Selain pentingnya memperhatikan faktor-faktor seperti geopolitik, regulasi, dan cuaca dalam membentuk pandangan ke depan pasar batubara.
Baca juga: Lebih dari 100 Aktivis Iklim Ditangkap di Pelabuhan Batu Bara Australia, Gelar Aksi Selama 30 Jam
Direktur Riset INDEF dan Dosen FEB UI, Berly Martawardaya, mengingatkan kerja sama lintas negara, dan inovasi dalam energi bersih adalah elemen-elemen yang penting untuk mendukung transisi menuju masa depan energi berkelanjutan.
"Dalam menyusun pandangan ke depan, kita harus mempertimbangkan impak dari dinamika geopolitik, regulasi, serta perubahan dalam model energi global. Pemahaman mendalam akan tantangan dan peluang ini menjadi kunci untuk pengambilan keputusan yang bijaksana di pasar batubara yang selalu berubah," tegasnya.
Kembali ke Anggawira, ia juga menegaskan komitmen Aspebindo untuk terus berkolaborasi dan menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan, mengakui pentingnya sinergi antar berbagai pihak untuk membawa dampak positif bagi industri energi Indonesia.