Utang Negara Rp 8,041 T, Prof Bambang: Siapapun Presidennya Dia Pasti akan Berutang, Kecuali . . .
Bank Dunia menyebut negara-negara berkembang mengeluarkan dana setara Rp 6.800 triliun untuk melunasi utang dan jaminan publik mereka pada 2022.
Editor: Dewi Agustina
JELANG pesta demokrasi pemilu 2024, Kementerian Keuangan mengumumkan utang Indonesia hingga akhir November 2023 mencapai Rp 8.041,01 triliun.
Sementara rasio utang pemerintah terhadap Pendapatan Domestik Bruto atau PDB adalah 38,11 persen.
Di sisi lain, Bank Dunia melaporkan negara berkembang rentan terkena krisis karena besarnya utang termasuk Indonesia.
Bank Dunia menyebut negara-negara berkembang mengeluarkan dana setara Rp 6.800 triliun untuk melunasi utang dan jaminan publik mereka pada 2022.
Baca juga: Anies Baswedan Soal Posisi Utang Indonesia Rp 8.041,01 Triliun hingga Akhir November 2023
Fakta ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi calon pemimpin negara terpilih nantinya di pemilu 2024 mendatang.
Apa aksi yang bisa dilakukan pemimpin baru nanti?
Berikut ulasan Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Bambang Soemantri Brodjonegoro.
Kamis (21/12/2023) lalu, Prof Bambang bertandang ke Studio Tribun Network di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pemimpin redaksi Warta Kota (Tribun Network) Domu D Ambarita mewawancarai Bambang secara eksklusif.
Berikut hasil wawancaranya:
Bagaimana pandangan Prof Bambang terkait utang Indonesia yang sudah mencapai Rp 8.041 triliun?
Ya mungkin dalam konteks laporan wujudnya begitu karena kebetulan saya baca, kemudian satu media mengangkat seolah-olah Bank Dunia memberi warning (peringatan) kepada Indonesia.
Padahal ini dua perintah yang sebenarnya terpisah. Bank Dunia ini memberikan concern (perhatian) kepada negara berkembang.
Kenapa memberi itu? Karena tahu bahwa selama 2021 pandemi Covid-19 terjadi, negara-negara ini termasuk Indonesia terpaksa berutang dalam jumlah besar.
Baca juga: Pesan AHY, Presiden PKS & JK untuk Anies Baswedan: Singgung Soal Utang Negara & Pengumuman Cawapres
Bayangkan waktu Covid-19, saat itu kita punya penerimaan di bawah pengeluaran, maka harus berutang.
Dalam Undang-Undang (UU), utang dibatasi tiga persen per tahun, tiga persen itu defisit terhadap PDB.
Nah ketika Covid-19, Anda bisa bayangkan, enggak ada penerimaan. Jadi pajaknya turun drastis, pengeluarannya enggak bisa turun, malah bertambah.
Hal itu karena pertama, harus ada bantuan sosial yang dikeluarkan pemerintah karena orang-orang tiba-tiba terkena pemutusan hubungan kerja, tidak bisa jualan, dan segala macam.
Kedua, vaksin, belum lagi penanganan kesehatan ada di rumah sakit, ada rumah sakit Covid-19. Jadi defisit yang tadinya biasa-biasa saja, rata-rata 2-2,5 persen (per-tahun), mendadak jadi 6 persen.
Jadi terpaksa ada klausul yang menyatakan bahwa pemerintah boleh meningkatkan defisit dalam rangka itu.
Nah poin saya adalah negara berutang selama Covid-19 itu tidak terhindarkan karena setiap pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia, Rp 8.000 triliun itu kalau menggunakan perkiraan PBB 2023, perkiraannya itu 38 persen. Sangat safe (aman).
Dan Rp 8.000 triliun itu juga harus dilihat asal-muasalnya. Artinya kalau melihat utang, utang kita mungkin banyak juga yang dalam mata uang asing.
Nah, dalam konteks sekarang tiket bunga tinggi, dolarnya kan makin kuat. Jadi istilahnya, kita enggak ngapa-ngapain, enggak nambah utang, tetapi secara rupiah nambah sendiri.
Apakah angka Rp 8.041,01 triliun ini merupakan utang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia?
Secara nominal, pasti tertinggi, kan akumulasi, bertambah terus. Kenapa utang tambah terus? Karena asal-muasalnya penerimaan kita selalu di bawah pengeluaran.
Utang hanya bisa turun kalau penerimaan surplus. Sementara kita selalu defisit budget. Mungkin Anda tanya, kalau defisit kenapa enggak dibikin surplus? Masalahnya, kita itu adalah negara yang masih upper middle atau masih perlu tumbuh.
Bagian dari pertumbuhan, boosting (meningkatkan) tadi kan adalah investment (investasi). Investment bisa datang dari sektor privat, dari dalam luar negeri, dan dari pemerintah.
Nah investasi pemerintah inilah, karena pemerintah juga sudah punya kewajiban, selain membayar gaji pegawai, memberikan bantuan untuk pendidikan, kesehatan, dan banyak fungsi-fungsi dasar yang harus disediakan.
Sehingga untuk investasi emang mau enggak mau harus ada pinjaman. Tapi satu hal yang mungkin masyarakat perlu tahu, bahwa mayoritas sekarang (pemasukan negara) itu dari surat utang.
Dan di dalam surat utang sendiri yang makin membuat kita dalam kondisi baik adalah komposisi pemegang surat utang. Ada masa di mana pemegangnya cukup besar oleh orang asing. 40 persen asing, 60 persen lokal.
Bayangkan kalau ada tingkat tinggi, kemudian ada capital flow (aliran modal), maka salah satu yang outflow (aliran modal keluar) selain dari pasar saham kan dari pasar obligasi.
Nah yang 40 persen ini kalau kemudian bergejolak, ya Indonesia agak terganggu stabilitasnya. Sehingga kalau ditanya sekarang komposisinya, ya sudah makin membaik.
Kalau enggak salah sudah 30 persen, berarti lokalnya 70 persen. Artinya, ketergantungan Indonesia ke negara asing sudah semakin kecil.
Terkait fakta pendapatan Indonesia mengalami defisit, apakah siapa pun nanti presiden terpilih akan
membawa utang?
Tidak bisa dihindari, dia pasti akan berutang kecuali tadi, bisa diyakini kita sanggup memperbaiki tax ratio (rasio pajak).
Sekarang tax ratio kita itu harus cuma sekitar 10 persen.
Menaikkan tax ratio itu sangat tidak mudah, butuh waktu dan enggak mungkin dengan menaikkan tarif. Yang mungkin adalah memperluas basis pajak. Itu yang rumit.
Kalau cuma naikin pajak ya semua orang juga bisa. Kita mau bersaing sama Singapura, Malaysia salah-salah pada lari semua kalau pajaknya dinaikkan. (m40)