Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pemanfaatan Energi Nuklir di RI Mulai Dijajaki, Seberapa Aman? Ini Penjelasan Eks Wamen ESDM

PLN melalui unit usahanya, PLN Nusantara Power (PLN NP) menjajaki pra kajian kelayakan pembangkit listrik tenaga nuklir

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Sanusi
zoom-in Pemanfaatan Energi Nuklir di RI Mulai Dijajaki, Seberapa Aman? Ini Penjelasan Eks Wamen ESDM
Kementerian ESDM
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia melalui PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN melalui unit usahanya, PLN Nusantara Power (PLN NP) menjajaki pra kajian kelayakan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia.

Adapun PLN bakal berkolaborasi dengan Korean Hydro & Nuclear Power (KHNP) Co. Ltd., dalam kajian yang dimaksud.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan energi masa depan akan lebih bersih dan ramah lingkungan.

Baca juga: Jepang Ciptakan Fusi Nuklir Dapat Membatasi Deuterium Dengan Panas 100 Juta Derajat Celcius

Tak terkecuali nuklir, PLN siap mengkaji energi alternatif ini sebagai salah satu sumber listrik bersih di Indonesia.

"Di tengah pesatnya pertumbuhan energi bersih di Indonesia, energi nuklir menjadi salah satu hal yang perlu untuk dikaji," ungkap Darmawan dalam pernyataannya.

"Apalagi, nuklir berpotensi menjadi salah satu backbone kelistrikan di masa depan," sambungnya.

Berita Rekomendasi

Namun, seberapa aman penggunaan energi nuklir sebagai sumber kelistrikan nasional?

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengatakan, terobosan tersebut harus dikupas tuntas baik dari aspek teknikal maupun komersialnya.

"Apakah PLTN Lebih Efisien dan Aman? Kita Pelajari Aspek Teknikal dan Komersialnya," papar Arcandra dikutip dalam unggahan di media sosial pribadinya, Senin (8/1/2024).

"Pertanyaan berkisar tentang apakah energi nuklir bisa menjadi alternatif untuk menggantikan energi fosil menuju net zero emission tahun 2050 atau 2060," sambungnya.

Baca juga: Pakai Teknologi Co-firing, PLN Bisa Tekan Emisi Karbon 1,05 Juta Ton CO2 

Menurut Arcandra, keputusan penggunaan energi nuklir tidaklah mudah untuk.

Lanjutnya, perbedaan pendapat antar individu, organisasi bahkan negara selalu mewarnai perdebatan penggunaan energi nuklir.

Hal ini dikarenakan adanya masalah keamanan dari reaktor nuklir menjadi pertimbangan utama masyarakat, apakah mereka mau menerima PLTN dibangun didaerahnya.

Keamanan disini tidak terbatas pada sisi pengoperasiannya saja tapi juga dari kemungkinan terjadinya bencana alam yang diluar kontrol manusia.

"Atau juga bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia sendiri seperti perang," papar Arcandra.

Sindrom NIMBY (Not In My BackYard) hampir selalu mengemuka jika ada rencana pembangunan PLTN di suatu negara.

Baca juga: Diminati Perbankan Nasional, PLN Peroleh Green Loan Rp12 Triliun untuk Program Transisi Energi

Penolakan warga agar PLTN tersebut tidak dibangun di daerahnya menjadi momok bagi pengembang PLTN.

Penolakan ini mendapat legitimasi lebih kuat setelah melihat akibat yang timbul dari kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang tahun 2011 dan Chernobyl di Ukraina tahun 1986.

Meskipun memiliki profil resiko yang tinggi, beberapa negara seperti Perancis justru masih nyaman menggunakan PLTN sebagai sumber energi mereka.

Tetapi tidak dengan Jerman yang mempensiunkan PLTN yang mereka punya.

Disinilah kita bicara tentang risk appetite atau risk tolerance (tingkat resiko yang akan diambil) yang mempengaruhi strategi energi sebuah negara.

Menurut Arcandra, bagi Perancis risiko menggunakan energi nuklir dapat dikelola dengan baik tapi tidak dengan Jerman.

"Apakah hanya faktor keamanan yang menjadi penyebab perselisihan tentang PLTN ini? Tentu saja tidak," papar Arcandra.

"Seperti yang selalu kami sampaikan dalam beberapa tulisan, sebuah project atau inisiatif bisa go atau not go bergantung akan tiga hal," sambungnya.

Pertama apakah inisiatif tersebut secara teknikal fisibel (technically feasible). Kedua apakah secara komersial layak (commercially viable) dan ketiga apakah secara politik bisa diterima (politically acceptable).

Urutan dalam mengevaluasi sebuah proyek tidak boleh dilakukan secara acak. Harus dalam step yang teratur.

Step satu harus dimulai dari aspek teknikal, kedua aspek komersial dan ketiga baru aspek politik. Step ini juga tidak boleh dibalik seperti aspek politik dikedepankan kemudian baru teknikal dan komersial.

Dalam beberapa kasus, urutan yang terbalik ini menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari karena aspek teknikal dan komersial jadi terabaikan.

"Begitu juga dengan inisiatif pembangunan PLTN. Secara teknikal PLTN adalah proyek yang visible," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas