Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat UGM: Hilirisasi Nikel Dianggap Gibran Bagai Lampu Aladin Padahal Perlu Dievaluasi

Gibran mengungkapkan bahwa hilirisasi merupakan jalan keluar dari permasalahan yang ada dan bisa membawa Indonesia jadi negara maju.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Pengamat UGM: Hilirisasi Nikel Dianggap Gibran Bagai Lampu Aladin Padahal Perlu Dievaluasi
EKSPLORASI
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyoroti kebijakan hilirisasi sumber daya mineral khususnya nikel, yang terus digaungkan oleh Pemerintah. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyoroti kebijakan hilirisasi sumber daya mineral khususnya nikel, yang terus digaungkan oleh Pemerintah.

Kebijakan tersebut juga dibanggakan oleh Calon Wakil Presiden nomor urut 2 yakni Gibran Rakabuming Raka, dalam debat Cawapres yang berlangsung pada akhir pekan kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Gibran mengungkapkan bahwa hilirisasi merupakan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Di mana kebijakan atau program tersebut mampu menjadikan Indonesia sebagai negara maju.

Fahmy menilai, paparan dari Gibran seolah-olah hilirisasi seperti 'Lampu Aladin' yang mampu mewujudkan berbagai permintaan.

Baca juga: Celios: Hilirisasi Nikel Jika Tidak Hati-Hati Bisa Tamat Cepat

"Gibran menilai hilirisasi akan menghantarkan Indonesia menjadi negara maju, dengan hilirisasi Indonesia akan keluar dari middle income trap," ungkap Fahmy dalam pernyataannya, Rabu (24/1/2024).

"Bahkan, disebutnya hilirisasi akan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, hilirisasi akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan hilirisasi akan meningkatkan pendapatan per kapita. Hilirisasi bak Lampu Aladin yang bisa memberikan apa pun yang diminta oleh tuannya saat Lampu Aladin digosok," sambungnya.

Berita Rekomendasi

Padahal kenyataannya, program hilirisasi saat ini masih perlu dievaluasi.

Fahmy mengungkapkan, hilirisasi merupakan program suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki.

Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi.

Program hilirisasi Indonesia diawali dengan melarang ekspor nikel mentah pada awal 2020 lalu, biji nikel harus dismelterkan di Indonesia.

Kebijakan itu mendorong investor smelter berdatangan ke Indonesia, yang sebagian besar investor China.

Namun sayangnya, tenaga kerja dari Negeri Tirai Bambu ini justru terlihat ikut bekerja di Tanah Air. Tentunya ini mempersempit ruang atau posisi untuk pekerja lokal.

"Tidak hanya membawa teknologi smelter, tetapi juga membawa sejumlah tenaga kerja China untuk bekerja di smelter yang dibangun di Indonesia," ucap Fahmy.

Ia melanjutkan, hilirisasi memang berhasil menaikkan nilai ekspor secara drastis. Pada 2018 nilai ekspor biji nikel hanya Rp15 triliun.

Pada 2022 nilai ekspor nikel setelah menjadi produk setengah jadi meningkat menjadi Rp360 triliun.

Namun, nilai tambah hilirisasi nikel masih rendah, diperkirakan sekitar 30 persen dari nilai tambah yang dihasilkan hilirisasi, 70 persen nilai tambah dinikmati oleh investor China.

Lapangan pekerjaan baru yang diciptakan hilirisasi tidak begitu banyak lantaran investor mengusung tenaga kerja dari China. Angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara justru meningkat.

"Rendahnya lapangan pekerjaan baru dan tingginya angka kemiskinan itu mengindikasikan bahwa nilai tambah hilirisasi tidak dinikmati masyarakat setempat," papar Fahmy.

"Ironisnya, masyarakat setempat justru menanggung dampak kerusakan lingkungan akut dari pertambangan dan smelter nikel. Calon pemimpin seharusnya menyadari bahwa hilirisasi bukan Lampu Aladin yang bisa menjadi solusi berbagai permasalahan bangsa," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas