Pengamat Kebijakan Publik: Indonesia Perlu Belajar dari Vietnam Soal Regulasi PLTS Atap
penggunaan PLTS Atap mampu menghindarkan negara dari berbagai kerugian masif seperti yang dialami oleh Vietnam.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio menilai persetujuan pemerintah terhadap revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2021 terkait penggunaan PLTS Atap mampu menghindarkan negara dari berbagai kerugian masif seperti yang dialami oleh Vietnam.
Agus menjelaskan, keuangan negara akan tergerus saat harus membeli listrik dari PLTS Atap. Namun lewat revisi yang telah disetujui Presiden Joko Widodo (Jokowi), negara tak akan merugi lantaran skema jual beli listrik antara pemilik PLTS Atap dengan negara dihapus.
“Keuangan negara akan terbebani jika aturan tersebut tidak direvisi. Contoh Vietnam, gara-gara tidak berjalan lancar dan merugikan, negara tersebut menyetop PLTS Atap mulai 2021 hingga 2030," kata Agus kepada wartawan, Jumat (16/2/2024).
Diketahui, di Vietnam selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019–2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, hal tersebut meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam.
Menurutnya Indonesia perlu banyak belajar dari Vietnam yang APBN-nya sempat tergerus akibat penerapan PLTS Atap. Saat itu, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS Atap akhirnya membatalkan regulasinya sendiri.
Perlu digaris bawahi, paparnya, persetujuan pemerintah terkait PLTS Atap bisa menyelesaikan banyak masalah.
Pada aturan sebelumnya, Agus menjelaskan, negara akan banyak menanggung kerugian akibat harus mengompensasi kelebihan penggunaan listrik dari PLTS Atap, terutama yang dipasang di rumah-rumah.
Sehingga revisi Permen ESDM ini diharapkan segera diundangkan untuk mengantisipasi risiko kerugian negara.
“Ini penting agar negara tidak rugi," ucap Agus.
Selain berbagai masalah itu, kata Agus, intermintensi atau ketergantungan terhadap cuaca diakui menjadi salah satu kelemahan pembangkit listrik dari tenaga surya.
Kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan kepada masyarakat jadi tidak maksimal.
Menurutnya, pembangunan dan pengembangan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara.
Baca juga: YLKI: Revisi Regulasi PLTS Atap Jadi Kebijakan yang Untungkan Negara dan Masyarakat
“Pada COP 28 terakhir di Dubai, bahkan saya juga belum melihat negara maju serius menjalankan transisi energi ke EBT. Uni Eropa saja menyalakan lagi pembangkit listrik batu bara saat Rusia menyetop gas,” pungkasnya.