Awas, Ada Potensi Utang Baru Tanpa Realokasi Subsidi di Program Makan Siang dan Susu Gratis
Dalam tataran implementasi, gagasan makan siang gratis dan susu gratis penuh tantangan yang harus diselesaikan serta membutuhkan kajian panjang.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menyatakan pogram makan siang dan susu gratis dalam tataran ide dan wacana memang sangat bagus.
Namun dalam tataran implementasi, gagasan makan siang gratis dan susu gratis penuh tantangan yang harus diselesaikan serta membutuhkan kajian panjang.
“Pertama tantangan keuangan, kita tidak memiliki ruang fiskal yang cukup utk membiayai program ini sehingga perlu melakukan realokasi anggaran bansos yang lain, sehingga bisa membuat banyak kegaduhan,” ucap Teguh kepada Tribun Network, Jumat (23/2/2024).
Kemudian aspek teknis produksi dan distribusi makanan ke sekolah-sekolah akan jauh lebih kompleks.
Berbeda dengan Jepang, setiap sekolah memiliki dapur umum sendiri-sendiri sehingga produksi dan distribusi mudah dilaksanakan, biaya distribusi dan produksi bisa jadi lebih mahal dibandingkan ongkos makanannya.
Transformasi bantuan beras miskin (Raskin) menjadi Banguan Pangan Non Tunai (BPNT) salah satu alasannya adalah biaya distribusi lebih mahal.
Teguh juga menyoroti masalah aspek kesehatan dari makanan yang diproduksi yang dipikirkan.
Aspek selera makanan yang berbeda-beda antar daerah sehingga isu local context makanan ini pun perlu diperhatikan.
”Bisa jadi anak-anak tidak menyukai makanan yang disajikan yang terjadi adalah food waste,” urainya.
Baca juga: Pengamat: Kerjasama Pemerintah Badan Usaha Lebih Efektif Urus Makan Siang Gratis
Teguh meyakini apabila tidak ada realokasi anggaran bansos atau subsidi energi ke program makan siang gratis maka salah satu solusinya adalah menambah utang penerbitan obligasi.
Program ini pun secara logis tidak akan banyak memberi multiplier effects karena terjadi crowding out effect dari kegiatan belanja rumah tangga.
Baca juga: Ekonom: Susu dan Makan Siang Gratis Program Blunder, Sejatinya Tidak Diperlukan
Pria yang meraih gelar S3 bidang pembangunan internasional dari Nagoya University ini memandang wacana pembentukan kementerian baru khusus menangani makan siang bukan solusi.
“Menurut saya bukan sebuah solusi yang akan menyelesaikan masalah utama dari isu makan siang gratis. Mungkin perlu belajar dulu dari Jepang atau negara lain yang memiliki program serupa,” papar Teguh.