Nasib Program HGBT Akan Dibahas Langsung oleh Presiden Jokowi
Menperin mengusulkan jika pembahasan soal HGBT lebih baik dibahas langsung bersama Presiden Joko Widodo.
Penulis: Lita Febriani
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) akan segera berakhir di tahun 2024. Sayangnya, hingga akhir kuartal pertama tahun ini belum jelas apakah kebijakan akan diperpanjang atau diubah.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, menyampaikan pihaknya sudah mengusulkan jika pembahasan soal HGBT lebih baik dibahas langsung bersama Presiden Joko Widodo.
"Saya udah usulkan kepada bapak presiden dan beliau setuju soal HGBT. Saya sudah sampaikan kepada bapak presiden secara langsung dan beliau sangat setuju (rapat)," tutur Agus di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (25/3/2024).
Baca juga: Menperin Agus Gumiwang Usul Program HGBT Dilanjutkan: Ciptakan Multiplier Effect 3 Kali Lipat
Menyoal waktunya, Menperin tengah menunggu arahan dari Presiden Jokowi langsung. Namun ia menegaskan, dirinya siap kapan saja untuk membahas kebiasaan HGBT dengan presiden.
"Kalau bapak presiden kan waktunya tidak bisa kita tentukan, karena beliau sibuk sekali. Kalau kami siap kapan saja. Saya sudah mengusulkan kepada bapak presiden. Jadi saya tidak mengatakan harus dalam waktu dekat atau apa, tetapi saya sudah mengusulkan dan beliau setuju," ucapnya.
Agus menjelaskan, program HGBT ini sangat membantu agroindustri, mulai dari industri makanan dan minuman, pupuk dan beberapa sektor lainnya.
"Multiplier efeknya bisa dilihat dari empat indikator mulai dari pajak, ekspornya tinggi karena daya saing tinggi, kemudian juga penyerapan tenaga kerja dan investasinya juga tinggi di tujuh sektor penerima HGBT," jelas Agus.
Dorong Pertumbuhan
Kemenperin menekankan pentingnya kepastian berlanjutnya program Harga Gas Bumi Tertentu bagi peningkatan daya saing industri dan masuknya investasi, serta pertumbuhan perekonomian nasional.
Kemenperin juga meminta agar program HGBT sesuai Perpres Presiden Joko Widodo dilanjutkan, bahkan diperluas dengan prinsip no one left behind, bukan hanya untuk tujuh sektor industri yang saat ini menerima fasilitas tersebut.
Dirjen Ilmate Taufiek Bawazier mengatakan total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021 hingga 2023 sebesar Rp 51,04 triliun. Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp 157,20 triliun, atau meningkat hampir tiga kali lipat.
Baca juga: Menperin Minta Sektor Industri Penikmat HGBT Diperluas, Menteri ESDM Soroti Ketersediaan Gas
“Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” tegas Taufiek.
Dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor pada tahun 2021-2023 sebesar Rp 84,98 triliun dengan nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia sebesar Rp 48,49 triliun.
Bukan hanya ekspor, peningkatan pajak juga diperoleh senilai Rp 27,81 triliun. Efek berganda dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp 31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp 13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.
Sehingga logikanya, jika HGBT ditiadakan atau tidak diperpanjang, maka terdapat kehilangan kesempatan bagi industri yang berujung perekonomian akan merosot dan menurun tiga kali lipat. Hal ini juga menyebabkan produk buatan nasional menjadi tidak kompetitif yang dapat berakibat pada penutupan pabrik serta PHK.
Taufiek pun mengingatkan, industri butuh gas murah baik sebagai energi dan feedstock. “Pelaku industri juga memperoleh gas dengan membeli, bukan gratis. Dari perspektif ini, jelas pemerintah harus hadir,” imbuh dia.
Dari portfolio penerima HGBT, pada tahun 2023 industri penerima berjumlah 265 perusahaan dan kelistrikan sebesar 56 perusahaan dengan total penerima sebesar 321 perusahaan.
Alokasi gas industri hanya 1222,03 BBTUD dan kelistrikan sebesar 1231,22 BBTUD. Artinya, masih lebih banyak sektor kelistrikan penerima alokasi HGBT dibandingkan industri.
“Itupun hanya diberikan 85,31 persen dan banyak persoalan di lapangan, termasuk biaya surcharge,” terang dia.
Kemenperin berpendapat, meski terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibanding bila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.
Sehingga bila memang Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara Teluk dengan harga yang bisa menyentuh US$ 3 per mmbtu untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor.
“Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik, sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat, serta berdaya saing di tingkat Asean dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri,” ungkap Taufiek.
Ia menambahkan, sangat disayangkan jika persoalan substansi teknokratis direduksi oleh kehadiran pejabat dalam menentukan perpanjangan program HGBT.
Sesungguhnya terminologi 'dilanjutkan' atau 'tidak dilanjutkan' program HGBT ini sangat tendensius, karena sesungguhnya selama Perpres belum dicabut, maka Program HGBT ini tetap harus jalan dan semua pembantu Presiden wajib untuk mengikuti peraturan tersebut.
Terkait hal ini, Kemenperin selalu terbuka untuk berdiskusi secara komprehensif, mengingat HGBT bukan cost bagi pemerintah, tetapi investasi dalam ekonomi.
"Karena setiap pengeluaran Rp 1 untuk diskon gas, pemerintah juga mendapat Rp 3 dengan hitungan bukan di awal, melainkan satu tahun berjalan atau di akhir tahun takwim,” pungkasnya.