Maskapai Akan Hadapi 'Kiamat' Penumpang Akibat Ulah Pemerintah Cari Uang Pariwisata di Tiket Pesawat
Iuran pariwisata melalui tiket pesawat jelas akan menambah beban biaya penerbangan, terlebih selama ini biaya tiket pesawat sudah tinggi.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maskapai harus bersiap menghadapi penurunan drastis jumlah penumpang jika pemerintah merealisasikan wacana iuran pariwisata masuk komponen harga tiket pesawat.
Saat ini, pemerintah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Fund.
Pemerintah pun memiliki wacana mengenakan iuran pariwisata kepada penumpang pesawat dengan memasukannya sebagai komponen perhitungan harga tiket pesawat.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Sujatno mengatakan, iuran pariwisata melalui tiket pesawat jelas akan menambah beban biaya penerbangan, terlebih selama ini biaya tiket pesawat sudah tinggi.
Baca juga: Iuran Pariwisata di Tiket Pesawat, Astindo: Harusnya Tidak Berlaku ke WNI
"Pungutan iuran pariwisata ini juga akan memukul daya beli konsumen penerbangan. Dampaknya juga akan berakibat fatal bagi industri aviasi, yang saat ini sedang mencoba bangkit pasca pandemi," kata Agus ditulis Jumat (26/4/2024).
Agus juga menyebut, iuran pariwisata ini merupakan kebijakan yang tidak kreatif.
Sebab, pemungutan dana abadi pariwisata justru dibebankan pada konsumen penerbangan. Sedangkan tidak semua konsumen pesawat bertujuan wisata.
Karenanya, YLKI melihat bahwa pemungutan iuran pariwisata ini belum jelas bahkan berpotensi akan menimbulkan dugaan penyalahgunaan.
"YLKI melihat bahwa dana terkumpul dari iuran pariwisata belum transparan siapa/lembaga apa yang akan mengelola, dan kejelasan alokasi serta pemanfaatan. Termasuk benefit apa yang akan diterima oleh konsumen dengan iuran tersebut. Tanpa transparansi, akan memunculkan dugaan penyalahgunaan," jelasnya.
Selain itu, Agus menyatakan bahwa rencana kebijakan ini juga kontra produktif utamanya pada pengembangan dunia pariwisata. Sehingga dia berpendapat bahwa rencana iuran pariwisata itu baiknya di revisi.
"Nampaknya rencana pungutan iuran untuk Indonesia tourism fund perlu dievaluasi, bahkan ditolak," tegasnya.
Kebijakan Aneh
Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira menjelaskan, selama ini Komisi X DPR RI terus mendesak kepada pemerintah agar harga tiket pesawat tidak terlalu tinggi di masyarakat.
Sebab, dengan harga tiket tinggi, praktis akan berpengaruh terhadap tingkat okupansi.
"Selama ini di Komisi X didesak untuk meningkatkan kunjungan wisatawan yang mana seharusnya harga tiket pesawat tidak terlalu mahal," ujar Andreas.
Menurut Andreas, publik terus mengeluhkan tiket terlalu tinggi.
Termasuk para pelaku pariwisata bahwa biaya transportasi udara yang mahal menyebabkan lambatnya peningkatan kunjungan wisatawan.
"Kebijakan ini aneh justru mau menarik iuran pariwisata dari harga tiket pesawat. Ini namanya kebijakan mau cari gampang, mengatasnamakan pariwisata, tetapi malah mematikan pariwisata," terang Andreas.
Harga Tiket Jadi Mahal
Ketua Umum Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Denon Prawiraatmadja berpendapat, adanya iuran pariwisata dalam komponen tiket pesawat maka membuat harga tiket menjadi lebih mahal bagi penumpang.
Maskapai juga akan terkena dampak karena jumlah penumpang akan berkurang jika harga tiket dianggap mahal.
"Dengan demikian tidak seharusnya iuran pariwisata yang sedang digagas oleh Kemenparekraf ditambahkan dalam komponen harga tiket pesawat karena akan menjadi beban tambahan bagi penumpang dan maskapai penerbangan," kata Denon.
Menurut Denon, saat ini bisnis penerbangan sedang dalam kondisi rebound setelah terpuruk akibat pandemi Covid -19 pada tahun 2020 sampai dengan 2022 lalu.
Selain itu, Denon melihat banyak kendala yang dihadapi maskapai penerbangan Indonesia sehingga proses rebound tidak bisa berlangsung lancar jika dibandingkan dengan maskapai penerbangan internasional.
Denon melihat bahwa permasalahan yang dihadapi maskapai Indonesia di antaranya adalah berkurangnya jumlah ketersediaan pesawat beserta suku cadang (spareparts) dan sumber daya manusia yang siap untuk dioperasikan.
Selain itu juga meningkatnya biaya operasi yang disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar avtur dan nilai tukar mata uang Rupiah yang terus melemah terhadap mata uang Dollar AS.
"Padahal sekitar 70 persen biaya operasional penerbangan dipengaruhi oleh Dollar AS, di antaranya terkait harga avtur, biaya sewa pesawat, biaya perawatan dan pengadaan spareparts dan lainnya," ungkap Denon.
Sementara itu, tarif penerbangan sejak tahun 2019 sampai saat ini belum disesuaikan oleh pemerintah padahal komponen biaya tarif penerbangan sudah meningkat.
Misalnya untuk kurs Dollar AS dari tahun 2019 sebesar Rp14.102, dan tahun 2024 menjadi Rp. 16.182, atau meningkat 15 persen. Bahkan, Denon menyebut harga jual minyak juga terus naik, di mana tahun 2024 ini mencapai 87,48 dolar AS per barrel atau meningkat 37 persen dibanding tahun 2019 yaitu 64 dolar per barrel.
"Dengan demikian pengenaan iuran pariwisata pada tiket pesawat akan menjadi kontraproduktif, karena dapat menyebabkan harga tiket naik, jumlah penumpang turun dan kondisi bisnis maskapai penerbangan juga turun sehingga program perluasan konektivitas transportasi udara dari pemerintah menjadi tidak tercapai," tegasnya.
Garuda Indonesia Menolak
Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra secara tegas tidak setuju dengan wacana pemerintah memasukan komponen iuran pariwisata ke harga tiket, karena akan membuat harga tiket pesawat naik.
"Nanti harga yang dibayar oleh penumpang maskapai naik dan pasti yang dipersalahkan adalah pihak maskapai. Padahal dana itu (iuran pawisata) hanya 'lewat' aja," kata Irfan.
Menurutnya, pemerintah dalam mengumpulkan iuran pariwisata sebaiknya mengunakan mekanisme terbuka dan langsung. Garuda tak ingin dituduh masyarakat selalu menaikkan harga, padahal kenyataannya sudah bertahun-tahun tidak naik.
"Sudah 5 tahun TBA (tarif batas atas) kami tidak pernah dinaikkan. Yang naik adalah airport tax dari bandara yang dimasukkan ke dalam harga tiket. Ada yang mempertanyakan ke pihak bandara tidak? Kan tidak ada," paparnya.
Sebelumnya, pemerintah tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Fund.
Salah satu yang menjadi sorotan yakni sumber pendanaan yang berasal dari iuran pariwisata.
Pemerintah berencana mengenakan iuran pariwisata kepada penumpang pesawat. Iuran akan dimasukkan dalam komponen perhitungan harga tiket pesawat.
Rencana itu diketahui dari undangan Rapat Koordinasi Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden Dana Pariwisata Berkelanjutan yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang diterbitkan 20 April lalu.
Masih Dikaji
Deputi Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kemenko Maritim dan Investasi, Odo RM. Manuhutu mengatakan, wacana iuran pariwisata kepada penumpang pesawat masih dalam kajian.
Kajian tersebut mempertimbangkan berbagai faktor, seperti dampak ekonomi dan sosial.
Selain itu, kajian turut mempertimbangkan upaya untuk mendukung peningkatan target pergerakan wisatawan nusantara.
“Berbagai kebijakan terkait pariwisata berkualitas bertujuan untuk memberikan manfaat signifikan yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat. Upaya ini sekaligus mendukung Indonesia Emas 2045,” ujar Odo.
Lebih lanjut Odo menyampaikan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi terus berupaya mengembangkan dan meningkatkan pariwisata berkualitas di Indonesia.
Melalui Bangga Berwisata di Indonesia (BBWI) Pemerintah menetapkan target pergerakan wisatawan nusantara sebanyak 1,25–1,5 miliar perjalanan pada 2024, dengan potensi pendapatan pariwisata sebesar Rp 3.000,78 triliun.
Target tersebut ditetapkan dalam rangka BBWI yang telah didukung oleh beberapa kebijakan, termasuk diskon tarif tol, integrasi paket kunjungan wisata dengan kereta api, penyelenggaraan event nasional dengan sistem perizinan yang terintegrasi melalui OSS (Onlines Single Submission).
Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Pakai Cara Tega ke Rakyatnya Cari Uang Pariwisata di Tiket Pesawat
Odo mengungkapkan bahwa sebanyak 85 persen aktivitas wisata domestik menggunakan angkutan darat, 3 persen menggunakan angkutan perairan dan 12 persen menggunakan angkutan udara.
Adapun faktor penetapan harga tiket pesawat sebesar 72% ditentukan oleh empat aspek.
Yaitu avtur (35%), overhaul dan pemeliharaan pesawat yang termasuk impor suku cadang (16%), sewa pesawat (14%), dan premi asuransi pesawat (7%).
Selain itu, harga tiket Indonesia juga dipengaruhi oleh penurunan jumlah pesawat yang beroperasi menjadi kisaran 400 pesawat dari sebelum pandemi yang mencapai lebih dari 750 pesawat sehingga menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran.
"Hal lain yang mempengaruhi adalah kondisi geopolitik di berbagai wilayah dunia yang berdampak pada peningkatan harga avtur,” ujarnya.