Tensi Geopolitik Meningkat, Pemerintahan Prabowo-Gibran ke Depan Diminta Ukur Beban Subsidi Energi
Potensi kenaikan harga energi tidak hanya bersumber dari geopolitik akan tetapi juga dari perpolitikan di Amerika Serikat (AS).
Editor: Seno Tri Sulistiyono
"Dengan segala situasi yang terjadi, pemerintahan baru nanti perlu menilai, sanggup atau tidak untuk terus memberikan belanja fiskalnya di tengah dunia yang lagi kayak begini. Kalau kemarin bisa memberikan berbagai subsidi, saat ini geopolitiknya semakin meruncing, semakin ke arah penyempitan-penyempitan ruang fiskal yang tertutup,” ujar Yanuar.
Faktanya, sejauh ini pemerintah Indonesia bukan saja memberikan subsidi yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat seperti harga BBM bersubsidi.
Melainkan terdapat juga pola subsidi lain yang tidak langsung dirasakan dampak positifnya oleh masyarakat seperti dalam program harga gas murah untuk industri yaitu Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
“Topangan memberikan uang bantuan baik dalam artian subsidi, bantuan tunai, dan sebagainya akan mengecil,” tegasnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor migas pada tahun 2023 adalah sebesar US$35,830 miliar atau setara sekitar Rp 579,9 triliun.
Mengimpor sebanyak 27,373 juta ton BBM, sebanyak 17,835 juta ton minyak mentah, dan sebanyak 6,934 juta ton gas. Meskipun khusus untuk gas terjadi surplus karena pada saat yang sama melakukan ekspor sebanyak 15,498 juta ton gas.
Adapun pada tahun ini, sampai dengan Maret 2024 telah terjadi impor migas senilai US$9,004 miliar atau setara sekitar Rp145,7 triliun.
Kenaikan risiko dari subsidi dan impor energi akibat kenaikan harga juga bisa diperparah oleh penguatan nilai tukar dollar AS terhadap Rupiah yang saat ini telah menyentuh kisaran 16.000. (Yudho Winarto/Kontan)
Artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul: Pemerintahan Prabowo-Gibran akan Hadapi Risiko Impor dan Subsidi Energi
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.