Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Daftar 10 Perusahaan PHK 13.800 Pekerja, Serikat Buruh Ungkap Masih Akan Berlanjut Hingga September

Untuk perusahaan tekstil yang raksasa, daftarnya bisa dilihat dari beberapa emiten tekstil yang melantai di bursa.

Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Daftar 10 Perusahaan PHK 13.800 Pekerja, Serikat Buruh Ungkap Masih Akan Berlanjut Hingga September
Tribun Jabar/Gani Kurniawan)
Ilustrasi buruh pabrik. Perusahaan yang memutuskan PHK mulai dari skala kecil hingga besar, di mana mayoritas berada di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 13.800 pekerja di industri tekstil telah diberhentikan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) dari 10 perusahaan sejak Januari-Juni 2024.

Berikut 10 perusahaan industri tekstil:

  1. PT S. Dupantex di Jawa Tengah PHK sekitar 700 pekerja.
  2. PT Alenatex di Jawa Barat PHK sekitar 700 pekerja.
  3. PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah PHK sekitar 500 pekerja.
  4. PT Kusumaptura Santosa di Jawa Tengah sekitar 400 pekerja.
  5. PT Pamor Spinning Mills di Jawa Tengah PHK sekitar 700 pekerja.
  6. PT Sai Apparel di Jawa Tengah PHK sekitar 8.000 pekerja.
  7. PT Sinar Panca Jaya PHK sekitar 2.000 pekerja.
  8. PT Bitratex di Semarang sekitar 400 pekerja.
  9. PT Johartex di Magelang PHK sekitar 300 pekerja.
  10. PT Pulomas di Bandung sekitar 100 pekerja.

Baca juga: Rupiah Tak Berdaya, Bayangi PHK Besar-besaran

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, PHK massal ini sejatinya sudah dimulai sejak 2021 dan hingga kini masih berjalan terus.

"Kalau dari awal 2021, catatan kami ada sekitar 70 ribuan. Ini yang data KSPN saja. Yang enggak melaporkan banyak," ujar Ristadi ditulis Rabu (19/6/2024).

Menurutnya, perusahaan yang memutuskan PHK mulai dari skala kecil hingga besar, di mana mayoritas berada di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Untuk perusahaan tekstil yang raksasa, Ristadi menyebut daftarnya bisa dilihat dari beberapa emiten tekstil yang melantai di bursa.

BERITA REKOMENDASI

Ia mengatakan, di antaranya ada PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX).

"Ya di antaranya itulah raksasa yang sekarang sedang berjuang. Semuanya sedang berjuang untuk tetap bisa survive, tetapi di antara perusahaan raksasa itu kan sudah banyak melakukan efisiensi PHK puluhan ribu pekerjanya sampai sekarang. Sekarang juga masih puluhan ribu," ujar Ristadi.

Ia menyebut, perusahaan tekstil masih akan mencicil pengurangan karyawannya, yang mana hal ini tak lepas dari kemampuan arus kas perusahaan yang terbatas untuk membayar pesangon karyawan.

Ia memandang, gelombang PHK ini masih akan berlangsung hingga September.

"Ya kita lihat lah sampai sekitar bulan September akhir ya, bisa melewati masa-masa sulit ini enggak. Kalau tidak, ya tutup itu perusahaan yang tekstil raksasa itu," tutur Ristadi.

Ia kemudian membeberkan alasan pabrik-pabrik ini tutup. Untuk pabrik yang pasarnya ada di dalam negeri, pesanan yang mereka dapat dari pasar tekstil seperti Pasar Tanah Abang mengalami penurunan.

Biang keroknya adalah barang-barang tekstil hingga sepatu impor yang harganya lebih murah, telah membanjiri Pasar Tanah Abang.

Konsumen pun disebut lebih memiliih produk-produk ini.

Sementara itu, bagi pabrik yang memiliki pasar luar negeri atau dengan kata lain mengekspor produk-produknya, juga kesulitan mendapatkan pesanan dari luar. Para perusahaan ini juga kesulitan mencari pasar baru.

Pelemahan Rupiah Bikin Pusing Pengusaha

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.

"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri. Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta.

Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang “vulnerable” atau dalam arti market share akan berkurang signifikan atau hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yg diproduksi meningkat) akan memiliki resiko PHK, pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.

"Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara massive pada saat yg bersamaan dalam waktu dekat, kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yg disebabkan oleh depresiasi rupiah," ucap Shinta.

Industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri-industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.

"Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global," terang Shinta.

Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya. Depresiasi rupiah, menurut Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.

"Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yangg tinggi seperti industri mamin, industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain," ujar Shinta.

Shinta berujar, probabilitas terjadinya PHK di industri-industri tersebut jauh lebih kecil dibandingkan industri padat karya berorientasi ekspor karena basis pasar industri-industri ini umumnya adalah pasar domestik yang relatif stabil pertumbuhannya.

"Meskipun bila depresiasi rupiah terus berlanjut dan berimbas pada inflasi kebutuhan pokok masyarakat, ya tentu akan ikut turun juga potensi pasarnya dan membuat industri-industri manufaktur nasional yang berorientasi pasar domestik juga ikut tertekan kapabilitasnya untuk mempertahankan tenaga kerja existing," tuturnya.

DPR Minta Pemerintah Antisipasi

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah meminta pemerintah untuk melakukan langkah antisipasi karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih mengalami pelemahan dan bertengger di level Rp 16.400-an.

Said mengatakan, jika dibandingkan dengan tahun lalu, posisi rupiah malah minus 5,25 persen.

"Kecenderungan rupiah loyo disebabkan situasi eksternal dan internal. Belakangan investor menarik diri, khususnya dalam perannya sebagai buyer di Surat Berharga Negara (SBN)," kata Said.

Menurutnya, investor asing melepas SBN sejak pandemi covid-19. Pada tahun 2019, porsi asing dalam SBN sebanyak 38,5 persen, setahun kemudian tinggal 25,1 persen, dan akhir Mei 2024 tersisa 14 persen.

"Perginya investor asing pada SBN mengakibatkan kepemilikan USD juga kian menurun," ujar Said.

Penyebab lain, kata Said, harga komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara dan CPO atau minyak kelapa sawit pada 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

"Sejak pertengahan tahun 2023 hingga kini harga batubara hanya di kisaran 120-an USD/ ton. Padahal, awal kuartal II 2022 hingga kuartal I 2023 harga batubara di level 400 USD/ton," ucapnya.

Di sisi lain, harga CPO tidak seperti tahun 2022, yakni 4.200 - 4.400 Ringgit/ton. Sedangkan, kini hanya 3.800 - 3.900 Ringgit/ton.

Said menjelaskan, menurunnya dua komoditas andalan Indonesia ini tidak membuat dompet devisa negara tebal.

Saat yang sama, dia menyebut bahwa pemerintah membuka kran impor yang juga menyebabkan sejumlah industri dalam negeri seperti tekstil gulung tikar dan merumahkan karyawannya.

Dari sisi eksternal, perekonomian AS perlahan makin membaik sejak badai inflasi di tahun 2022. Dia berkata, penguatan perekonomian AS membuat investor memilih meninggalkan Indonesia yang berakibat pada hilangnya pundi-pundi devisa baru.

"Akibat situasi di atas, tahun lalu saja current account Indonesia defisit 1,6 USD Billion. Bahkan food trade deficit Indonesia pada tahun 2023 menyentuh 5,3 USD Billion, angka tertinggi selama republik ini berdiri," ucap Said.

Said juga mengingatkan pemerintah tak terlena dengan data inflasi rendah di level 3 persen.

Sebab, inflasi rendah tidak bisa dibaca sebagai terkendalinya harga kebutuhan pokok rakyat.

Menurutnya, jika disandingkan dengan sejumlah data lainnya seperti berlanjutnya keputusan merumahkan karyawan, tingkat konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 dan 2024 tidak setinggi tahun 2022.

"Survei tingkat penjualan eceran jenis sandang oleh BI sejak pandemi di tahun 2020 sampai sekarang belum pulih masih di level 51,8 – 57, sedangkan periode sebelum pandemi di kisaran 150 – 240. Data ini memperlihatkan, daya beli rakyat sedang tidak baik-baik saja," jelas Said.

Karenanya, Said meminta seluruh komponen bangsa mengikatkan tali gotong royong untuk menghadapi situasi ini.

"Pemerintah harus mampu meningkatkan kepercayaan rakyat. Ucapan dan tindakan pemerintah dan pemimpin nasional harus bisa menjadi keteladanan dalam rangka membangun kepercayaan rakyat. Tragisnya, menghadapi situasi sulit, para pemimpin dan elit politik makin centang perenang," tegasnya.

Dia berharap pemangku kebijakan menyampaikan keadaan seobyektif mungkin, tanpa membuat komunikasi publik seakan Indonesia sedang baik-baik saja.

Dari sisi teknokratis, Said meminta pemerintah harus memastikan tata kelola devisa hasil ekspor sumber daya alam berjalan optimal untuk memperkuat cadangan devisa.

Kemudian, melakukan reformasi pada sektor keuangan agar lebih inklusif dan mendorong aliran modal asing semakin tumbuh.

Sebab, aliran masuk investasi portofolio kembali positif pada triwulan II 2024 (sampai dengan 30 Mei 2024) secara neto tercatat sebesar 3,3 miliar dolar AS.

"Artinya, peluang ini perlu terus dijaga oleh pemerintah dan BI," ungkap Said.

Said juga meminta pemerintah memperketat kebijakan impor, terutama pada sektor yang menggerus devisa dan memukul sektor industri serta tenaga kerja.

"Importasi hendaknya difokuskan sebagai kebijakan jangka pendek untuk menambal defisit pangan dan energi yang terus berlanjut," tegasnya.

Pemerintah, kata dia, perlu memastikan SBN untuk menarik investor asing dengan yield yang moderat agar tidak menjadi beban bunga.

"Pemerintah juga perlu memastikan stand by buyer untuk SBN, sebab SBN telah menjelma menjadi sumber pembiayaan penting bagi kelangsungan APBN," ucap Said.

Menurutnya, berbagai kebijakan BI yang mengurangi USD sebagai pembayaran internasional, dengan membuat sejumlah local currency swab belum terlihat hasilnya.

Untuk itu, dia menyebut BI perlu memastikan kebijakan itu sesegera mungkin dapat diandalkan, sehingga ketergantungan terhadap USD perlahan dikurangi.

"Pemerintah dan Bank Indonesia perlu antisipasi kebutuhkan likuiditas valas terhadap kebutuhan pembayaran utang pemerintah, BUMN dan swasta dengan meningkatkan kebijakan hedging, agar tidak makin membebani sektor keuangan," imbuh Said.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas