Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat: Sesuai Diterapkan di Indonesia, Cost Recovery Dorong Investasi Migas

Biaya yang dibutuhkan memang semakin besar karena minyak terkuras terus sehingga kandungan reservoir sudah berubah.

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Pengamat: Sesuai Diterapkan di Indonesia, Cost Recovery Dorong Investasi Migas
dok. Kompas
Biaya invetasi yang dibutuhkan memang semakin besar karena minyak terkuras terus, sehingga kandungan reservoir sudah berubah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skema cost recovery lebih sesuai diterapkan di Indonesia dibandingkan gross split.

Pasalnya, saat ini sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong mature sehingga butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi.

Demikian hal ini disampaikan Direktur Kholid Syeirazi Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi kepada wartawan, Kamis (20/6/2024). Menurutnya, skema cost recovery juga bisa mendorong investasi migas.

Baca juga: SKK Migas Ungkap Tantangan Industri Gas Bumi Nasional, Produksi dan Serapan Tak Berimbang

"Cost recovery bisa mendorong investasi migas. Skema ini lebih sesuai dan paling fair, apalagi sumur-sumur kita sudah tergolong mature. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi,” kata Kholid.

Sebagai informasi, cost recovery diartikan sebagai pengganti biaya produksi yakni biaya untuk mengganti belanja eksplorasi, pengembangan lapangan dan operasi yang dikeluarkan kontrak bagi hasil.

Kembali ke penjelasan Kholid. Menurutnya biaya yang dibutuhkan memang semakin besar. Pasalnya, minyak terkuras terus sehingga kandungan reservoir sudah berubah.

“Kalau dulu setiap satu sumur kandungannya 90 persen minyak 10 persen air, sekarang bisa terbalik, rata-rata 10 persen minyak dan 90 persen air,” kata dia.

Berita Rekomendasi

Karena lebih banyak kandungan air itulah, imbuh Kholid, maka teknologi untuk menghasilkan minyak akan semakin mahal.

“Biaya produksi meningkat sementara produksi turun. Itu karakter alami,” lanjutnya. Kecuali, lanjut Kholid, dilakukan eksplorasi sebanyak-banyaknya dan investasi dalam jumlah besar.

Karena itulah, jelas Kholid, skema cost recovery memang paling memungkinkan untuk mendongkrak produksi. Apalagi, saat ini Pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.

“Misalnya kita punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak di tahun 2030, tapi kalau tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil,” ujar Kholid.

Apalagi, lanjutnya, industri migas tidak bisa dipahami dengan prinsip ekonomi umum. Bagaimana contohnya? Misal saja, kata dia, kontraktor yang sudah menginvestasikan dana Rp1 triliun pun belum tentu memperoleh minyak.

Makanya Kholid menilai wajar jika terdapat kontraktor yang ingin kembali berubah dari skema gross split menjadi cost recovery.

Karena tanpa cost recovery, kata dia, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru.

"Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan."

“Ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun,” pungkas Kholid.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga membenarkan bahwa akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas.

Dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery. Dwi menambahkan, bahwa KKKS merasakan skema gross split dan menjadikan mereka tidak leluasa bergerak melaksanakan aktivitas. “Karena itulah, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery,” kata Dwi.

Sementara pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat, bahwa rencana perubahan skema kontrak bagi hasil dari gross split menjadi cost recovery cukup beralasan. Contohnya adalah Blok Rokan.

Pri menilai, skema kontrak gross split bakal memberatkan Pertamina Hulu Rokan dalam upaya melanjutkan investasi besar-besaran di blok tersebut. “Sebenarnya memang tidak pernah cocok gross split untuk lapangan yang masih butuh pengembangan berisiko dan kapital besar,” kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas