Kurs Rupiah Ambruk, Fundamental Ekonomi RI Sebenarnya Sedang Baik atau Buruk?
Mata uang garuda melemah 0,23 persen dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di Rp 16.375 per dolar AS.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 16.413 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Rabu (26/6/2024).
Mata uang garuda melemah 0,23 persen dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di Rp 16.375 per dolar AS.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyayangkan pernyataan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat baik sehingga kurs rupiah seharusnya menguat.
Yang dimaksud fundamental ekonomi cukup baik tercermin dari tingkat inflasi rendah (2,84 persen), pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi (5,11 persen), dan pertumbuhan kredit cukup baik (12 persen).
“Penjelasan Gubernur BI sangat mengkhawatirkan karena terkesan yang bersangkutan tidak paham (atau pura-pura tidak paham?) tentang keterkaitan fundamental ekonomi dan kurs rupiah,” kata Anthony kepada Tribunnews, Rabu (26/6/2024).
Dia menilai Gubernur BI memakai pemahaman inflasi Indonesia yang kini relatif rendah (dibandingkan AS) maka kurs rupiah seharusnya menguat (terhadap dolar AS).
Hal itu secara implisit merujuk teori inflation parity (atau Relative Purchasing Power Parity = RPPP) dalam menentukan nilai tukar.
Yaitu, perbedaaan tingkat inflasi antar dua negara akan terefleksi sepenuhnya pada perubahan kurs mata uang kedua negara tersebut.
Baca juga: Rupiah Melemah, Faisal Basri Harap Dana IKN Dialihkan Sementara Untuk Subsidi Pangan Masyarakat
Tetapi, faktanya, teori RPPP tidak pernah menjadi dasar penentu nilai tukar mata uang di dunia yang semakin terbuka (open global economy).
Kalau teori kurs mata uang rujukan Perry Warjiyo benar, maka kurs rupiah seharusnya sudah menguat sejak Februari 2021, di mana tingkat inflasi AS mulai meningkat tajam, jauh lebih tinggi dari tingkat inflasi Indonesia.
Namun, faktanya kurs rupiah tidak menguat selama periode tersebut.
Baca juga: Harga Pangan Dunia Naik, Rupiah Melemah, Kepala Bapanas: Maksimalkan Produksi Domestik
Artinya, lanjut Anthony, teori nilai tukar yang dimaksud Perry Warjiyo, bahwa kurs rupiah akan menguat karena inflasi lebih rendah, tidak terbukti.
Sebaliknya, kurs rupiah selama periode 18 Februari 2021 sampai akhir Desember 2022 malah merosot 11,1 persen: dari Rp14.010 menjadi Rp15.565 per dolar AS, dan lanjut melemah menjadi Rp16.450 per dolar AS pada 20 Juni 2024.
BI menerbitkan tiga jenis surat utang, dalam rupiah (SRBI) maupun valuta asing (SVBI, SUVBI), untuk memperkuat (alias doping) kurs rupiah.
Kedua, Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Q1/2024 cukup tinggi, 5,11 persen, karena itu, kurs rupiah seharusnya menguat.
Lagi-lagi, Perry gagal paham tentang fundamental ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan kurs, di mana pertumbuhan ekonomi (Indonesia) relatif tinggi tidak berarti nilai tukar (rupiah) menguat.
Pertumbuhan ekonomi triwulanan Indonesia selama periode Q1/1996 sampai Q3/1997 sangat tinggi, mencapai 10,39 persen pada Q4/1996, 7,2 persen pada Q1/1997 dan 5,22 persen pada Q2 dan Q3/1997. Tetapi kurs rupiah terhadap dolar AS anjlok dari Rp2.432 pada 1 Juli 1997 menjadi Rp5.550 pada 31 Desember 1997, dan sempat tembus Rp6.000 pada 24 Desember 1997.
Artinya, krisis nilai tukar (moneter) tidak ada hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi periode-periode sebelumnya.
Artinya, pertumbuhan ekonomi 5,11 persen pada Q1.2024 (meskipun penuh tanda tanya), tidak menjamin kurs rupiah tidak bisa merosot.
Ketiga, Perry juga mengatakan pelemahan kurs rupiah lebih baik dari beberapa negara lainnya, antara lain Jepang.
Sekali lagi, pernyataan seperti ini sangat mengecewakan, seolah-olah Perry Warjiyo tidak paham bahwa kondisi ekonomi setiap negara berbeda-beda.
Bagi negara tertentu yang mempunyai surplus neraca transaksi berjalan seperti Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea, pelemahan nilai tukar mata uangnya akan menguntungkan ekonomi mereka.
Karena alasan ini, kebijakan ekonomi Shinzo Abe yang dinamakan Abenomics pada intinya adalah dengan sengaja melemahkan nilai tukar yen terhadap dolar AS, melalui quantitative easing, ekspansi fiskal serta devaluasi yen.
Hasilnya yen terdepresiasi sekitar 25 persen hanya dalam 4 bulan.
Selain itu, aset bersih warga Jepang di luar negeri mencatat surplus sangat besar, sehingga devaluasi (pelemahan) yen sangat menguntung ekonomi Jepang.
Tetapi, bagi Indonesia sebaliknya. Pelemahan rupiah akan membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Karena Indonesia mempunyai defisit transaksi berjalan dan utang luar negeri yang sangat besar.
“Membandingkan pelemahan rupiah dengan pelemahan yen sangat tidak masuk akal, mencerminkan panik,” pungkasnya.