KADI Dinilai Pukul Rata Kenakan Bea Masuk Produk Keramik China, Faisal Basri: Seperti Pesilat Mabuk
Ekonom Faisal Basri mengkritik keputusan pemerintah yang akan mengenakan bea tambahan untuk produk keramik dari China.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengkritik keputusan pemerintah yang akan mengenakan bea tambahan untuk produk keramik dari China.
Sebagaimana diketahui, produk keramik dari China ini akan dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).
Pemerintah melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang berada di bawah naungan Kementerian Perdagangan, menjadi pihak yang menyelidiki soal produk impor keramik ini dan yang memberi rekomendasi besaran dari bea tersebut.
Faisal menilai KADI memukul rata semua jenis keramik dalam menyelidiki impor produk keramik dari China. Ia mengibaratkan KADI seperti pesilat mabuk yang menghajar semua orang di depannya.
"KADI ini seperti jurus pesilat mabuk. Semua dilibas," katanya dalam diskusi publik bertajuk 'Menguji rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik', Selasa (16/7/2024).
Faisal pun mencontohkan produksi keramik merah dan keramik porselen di dalam negeri.
Mayoritas yang ada di Indonesia adalah keramik merah, berbeda dengan keramik porselen yang disebut Faisal belum bisa dipenuhi kebutuhannya oleh para pelaku industri dalam negeri.
KADI dalam melakukan penyelidikan, dikatakan Faisal malah menganalisis semuanya menjadi satu, menggabungkan keramik merah dengan keramik porselen, padahal dari sisi produksi dalam negeri jelas berbeda.
"Mayoritas keramik di Indonesia keramik merah. Analisisnya disatukan. Padahal yang memproduksi porselen cuma sedikit. Kebutuhannya kira-kira 1,5 juta, produksi dalam negeri kira-kira 600 ribu. Jadi belum bisa memenuhi industri dalam negeri," ujar Faisal.
Ia mengatakan, keramik porselen dalam negeri kebanyakan diproduksi yang berukuran 30 cm x 30 cm dan 60 cm x 60 cm. Sementara itu, untuk yang ukuran besar tidak diproduksi.
Nah, karena tidak memproduksi yang ukuran besar, BUMN pengelola Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta disebut sampai harus mengimpor keramik porselen ketika hendak merombak karpet bandara tersebut.
"Di (Bandara) Soekarno-Hatta deh, terminal 3, itu kan tadinya karpet, sekarang sudah dirombak karpetnya dipakaikan porselen. Impor itu. BUMN. Ya karena kebutuhannya seperti itu, enggak bisa dipenuhi (dari) dalam negeri. Terus (oleh KADI, red) dipukul rata. Mau ukuran berapa aja dikenakan bea tinggi. KADI ini seperti jurus pesilat mabok. Semua dilibas," ujar tutur Faisal.
Menurut dia, kebijakan pengenaan BMAD merupakan keputusan gegabah. Jadi, pemerintah langsung loncat menuju kesimpulan bahwa produk impor keramik dari China harus dikenakan BMAD.
Sebagai informasi, saat ini proses penetapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik impor asal China masih berlanjut.
Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Danang Prasta Danial mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan laporan akhir yang merekomendasikan kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengenai pengenaan BMAD untuk produk keramik impor tersebut.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, Zulkifli memiliki 14 hari sejak surat rekomendasi KADI untuk berkoordinasi atau meminta masukan kepada kementerian lembaga terkait.
"Nah ini belum masuk masa 14 harinya. Nanti sebelum 14 hari akan ada pembahasan antara kementerian lembaga terkait di tim pertimbangan kepentingan nasional namanya," kata Danang dalam konferensi pers di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Senin (15/7/2024).
Di tim pertimbangan kepentingan nasional akan dibahas apakah memang hasil rekomendasi yang diberikan KADI ini bisa diterima atau tidak besaran yang ditetapkan.
"Hasil penyelidikan KADI yang sudah dilaksanakan atau dijalankan selama kurang lebih satu setengah tahun ini bisa diterima atau mungkin besarannya sesuai atau diturunkan atau ditambahkan gitu. Jadi saat ini masih menunggu pembahasan dari tim kepentingan nasional," ujar Danang.
Setelah pembahasan, Zulkifli akan menyampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai keputusan terkait dengan biaya masuk ini.
Kemudian, Sri Mulyani akan menetapkannya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Ketika ditanya berapa besaran bea yang direkomendasikan oleh pihaknya, Danang enggan menyebutkannya.
"Untuk besaran nanti kita tunggu di hasilnya saja ya di tim PKN (pertimbangan kepentingan nasional), namun untuk rekomendasi waktunya lima tahun," pungkas Danang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.