Kejahatan Keuangan, Penegak Hukum Harus Kejar hingga Pemilik dan Pengendali Perusahaan
Sejumlah kasus kejahatan korporasi di industri asuransi memang jadi tantangan tersendiri bagi OJK.
Penulis: Choirul Arifin
Editor: Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejahatan keuangan atau financial crime masih kerap terjadi Indonesia. Salah satunya yang tengah menjadi perhatian publik adalah kasus Kresna Life.
Pengamat hukum keuangan Yunus Husein mengatakan, dalam kasus Kresna Life, pihak yang menjadi beneficial owner atau orang di balik layar yang mengendalikan perusahaan secara menyeluruh harus bertanggung jawab penuh atas kerugian yang diderita nasabah.
Menurut Yunus, pemilik Kresna Life Michael Steven yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri merupakan sosok beneficial owner yang merugikan nasabah.
Benificial owner atau pemilik manfaat adalah orang yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi.
Baca juga: Soal Adanya Asuransi Kematian Dante dari Pihak Kolam Renang, Tamara Tyasmara: Aku Maunya Keadilan
Beneficial onwer memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung.
“Jadi kalau mau cari financial crime, jangan cari perusahaannya saja. Kejar orang di balik perusahaannya, kejar si Michael, dia ini sebagai beneficial owner yang mengendalikan segala-galanya, dia yang bermain, dia yang memanfaatkan perusahaan itu,” kata Yunus Husein di acara diskusi InfobankTalknews "Hati-Hati Modus Financial Crime di Sektor Keuangan" di Jakarta, Selasa, 13 Agustus 2024.
Pemilik Grup Kresna Michael Steven ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas perkara yang menyangkut PT Kresna Sekuritas, mengutip CNBC, pada 13 September 2023.
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, MS masih dapat memenangkan gugatan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam tiga kasus di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Yunus Husein menjelaskan, buronan yang mengajukan gugatan dalam perkara pidana maupun perdata telah melanggar prinsip Fugitive Disentitlement Doctrine. Dia dianggap tidak menghargai pengadilan.
Yunus juga mengkritisi terkait dengan administrasi pengawasan di sektor asuransi yang tidak sebaik administrasi pengawasan di sektor perbankan.
“Karena kurang rapinya administrasi ini bisa dijadikan celah-celah mengajukan gugatan di PTUN. Tapi, dalam kasus ini, saya lihat celahnya bukan gara-gara itu (administrasi), tapi gara-gara faktor-faktor yang tidak jelas. Masa buronan bisa menang berkali-kali,” ujarnya.
Pujiyono Suwadi, Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yang juga menjadi narasumber diskusi ini menilai, dalam kasus Kresna Life diperlukan penegakan hukum yang cermat, terutama para pengadil di PTUN. Jika tidak, akan berujung pada preseden buruk.
“Di PTUN itu seperti pra peradilan, yang diadili adalah alat-alat bukti yang sifatnya formil. Makanya, kecermatan administrasi dari pembuat kebijakan harus strict betul," ujarnya.
"Terkait dengan Kresna Life, hal-hal formil ini tidak dipatuhi, ya jadinya persoalan. Sekali pun kita juga mempersoalkan ketidakpekaan keputusan (pengadil) tersebut,” kata Pujiyono.
Pujiyono menilai, OJK sudah sesuai prosedur dalam menangani kasus Kresna Life. Sejumlah tahapan telah ditempuh, hingga akhirnya menutup izin usaha Kresna Life. Lalu, bagaimana solusi dari kasus Kresna Life yang masih bergulir di meja hijau?
Menurut Pujiyono, poin pentingnya adalah keberanian aparat hukum yang diawali dari OJK. “Keputusan PTUN sebagian besar dalam eksekusinya bisa disiasati. Banyak putusan PTUN yang menang di atas kertas. Tinggal bagaimana keberanian tim hukum OJK,” jelasnya.
Solusi selanjutnya, kata Pujiyono, jika OJK ingin melakukan intervensi dalam kasus Kresna Life, bisa ‘dilarikan’ pada kasus korupsi. Dengan begitu, aparat penegak hukum lain bisa terlibat dalam kasus ini.
Selain itu, kata Pujiyono, ada beberapa pembelajaran penting dalam kasus Kresna Life. Pertama, pentingnya pengawasan ketat terhadap produk keuangan, terutama yang menawarkan imbal hasil tinggi.
Kedua, urgensi peningkatan literasi keuangan masyarakat agar lebih kritis dalam menilai produk investasi. “Terakhir, kebutuhan penguatan regulasi terkait transparansi kepemilikan perusahaan untuk mencegah praktik ultimate beneficial owner yang merugikan,” ujarnya.
Pengamat asuransi Reza Ronaldo mengatakan, sejumlah kasus kejahatan korporasi di industri asuransi memang jadi tantangan tersendiri bagi OJK.
Karena itu regulator dan para penegak hukum perlu melakukan adaptasi regulasi di tengah teknologi dan digitalisasi yang semakin canggih sebagai langkah identifikasi dan menangkap pelaku financial crime dengan kepemilikan tersembunyi.
“Kasus gugatan balik terhadap OJK menunjukkan perlunya perbaikan regulasi dan penegakan hukum untuk memberikan efek jera lebih kuat. Jadi nggak boleh regulator kalah dengan yang diatur,” tegasnya.
Di sisi lain, industri asuransi juga perlu memperbaiki tata kelola perusahaan yang baik, bukan malah berorientasi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. “Yuk mari kita hidupkan industri asuransi ini, yuk kita lihat lagi, jangan lagi kita manipulasi informasi, aktuarisnya kalau kurang lebih sekian ya sekian,” ucapnya.
Eko B Supriyanto, Chairman Infobank Media Group, menegaskan bagi oknum industri jasa keuangan yang merusak reputasi, harus segera dikeluarkan dari lingkup industri dan regulator. Penegak hukum juga harus melakukan penindakan yang tegas.
“Satu kata, bagi mereka yang merusak industri, harus segera dikeluarkan di industri dan masuk daftar orang rusak, dan lembaga hukum harus memperhatikan, kepentingan yang jauh lebih besar,” ujar Eko.