Perusahaan Multinasional Bermigrasi ke Energi Bersih, Puncaknya Akan Terjadi di 2030
Banyak perusahaan multinasional yang gencar melakukan transisi ke energi bersih dan permintaan terhadap energi hijau diperkirakan akan melonjak.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap banyak perusahaan multinasional yang gencar melakukan transisi ke energi bersih.
Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Kimia Hulu Kemenperin Tri Ligayanti memprediksi akan terdapat kenaikan permintaan hidrogen hijau dan amonia hijau pasca 2030.
"Jadi milestone global ini yang akan menjadi game changer di dalam bisnis hidrogen maupun amonia titik kritisnya adalah di 2030," kata Tri di acara diskusi bertajuk "Pengembangan Hidrogen sebagai Komoditas Strategis Industri" di Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2024).
Ia menjelaskan, kenaikan tersebut tak lepas dari kebutuhan hidrogen hijau dan amonia hijau oleh para perusahaan multinasional.
"Tidak hanya dari kebijakan pemerintah, tetapi banyak multinational company yang membutuhkan dukungan dalam bertransisi energi ini," ujar Tri.
Dari informasi yang ia dapat, salah satu perusahaan multinasional di industri kimia telah mendapatkan arahan dari perusahaan induknya agar bertransisi ke energi bersih pada 2030.
Jika tidak bertransisi ke energi bersih pada 2030, pabrik mereka di Indonesia diancam akan ditutup oleh perusahaan induknya. Karenanya, ada kebutuhan dari industri multinasional untuk mengikuti kebijakan dari perusahaan induknya.
Terutama di negara-negara yang sudah mendeklarasikan mereka akan bertransformasi ke hidrogen hijau dan amonia hijau seperti Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan.
Baca juga: Pertamina NRE Bidik Kapasitas Pembangkit 6 Gigawatt dari Energi Bersih di 2029
"Mereka telah meng-establish kebijakan transisi energinya dan skema yang digunakan salah satunya adalah [berpindah ke] hidrogen dan amonia," ucapnya.
Dia mengatakan bahwa pelanggan dari perusahan multinasional juga mulai mensyaratkan nilai karbon pada bahan baku yang mereka gunakan.
Para pelanggan akan memilih bahan baku ataupun bahan penolong dalam rantai pasok berupa material-material lebih rendah karbon.
Baca juga: PLN Pasok Energi Bersih untuk Upacara HUT Kemerdekaan RI ke-79 di IKN
Dia mencontohkan, Uni Eropa sudah menerapkan CBAM alias Cross Border Adjustment Mechanism. "(Uni Eropa) sudah mewajibkan empat produk, yaitu kertas, pupuk, baja, dan semen untuk dalam hal ekspor dan impor dikenai pajak karbon," jelas Tri.
"Tentunya ini akan mempengaruhi supply chain global bahwa yang dipilih adalah bahan-bahan yang lebih rendah karbon, sehingga dalam hal LCA ataupun penghitungan karbon footprint akan menjadi salah satu kelebihan atau daya saing dalam hal mempertahankan market produk kimia," pungkasnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia