Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Dibanding Pengenaan Cukai, Kemenperin Lebih Setuju Penggunaan SNI untuk Makanan Siap Saji

Kemenperin lebih setuju menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mengatur pangan olahan tertentu termasuk makanan siap saji.

Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Dibanding Pengenaan Cukai, Kemenperin Lebih Setuju Penggunaan SNI untuk Makanan Siap Saji
HO
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lebih setuju menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mengatur pangan olahan tertentu termasuk makanan siap saji.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan tersebut lebih tepatnya tertuang dalam Pasal 194 ayat 4 beleid tersebut.

Baca juga: Ahli Kontruksi Bilang Kualitas Beton Jalan Tol Layang MBZ di Bawah Standar SNI

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menjelaskan akan ada peraturan turunan dari PP tersebut.

Dalam peraturan turunannya, disebutkan bahwa bisa ada alternatif selain penggunaan cukai.

Putu pun mengatakan bahwa Kemenperin lebih setuju jika penggunaan SNI yang dipilih dibanding pengenaan cukai.

BERITA REKOMENDASI

"Kami lebih kepada penggunaan SNI. Kenapa? Karena di sana itu kita tidak memberikan suatu ruang untuk melebihi dari standar yang diterapkan," katanya ketika ditemui di kantor Kemenperin, Jakarta Selatan, Selasa (20/8/2024).

Namun, beda lagi ceritanya jika kelak ada kebijakan yang menyebutkan sebuah produk boleh memiliki kandungan lebih tinggi dari standar yang ada, asalkan membayar cukai.

Yang jelas, ia menyatakan Kemenperin lebih sepakat jika yang digunakan adalah SNI dibandingkan pengenaan cukai.

Putu mengatakan, Kementerian Koordinator Bidang Pembagunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) akan mengkoordinir soal pengenaan cukai; penetapan batas-batas penggunaan garam, gula, lemak (GGL); dan lainnya yang bersifat lebih detail.

Baca juga: Tak Sesuai SNI, Produk Baja Tulangan Beton di Serang Senilai Rp 257,24 Miliar Dimusnahkan

"Nah itu selanjutnya nanti ditentukan secara bersama-sama, dikoordinasikan secara bersama-sama, menentukan, menyepakati," ujar Putu.


"Setelah itu baru dijabarkan. Dijabarkan itu bisa [akan dikenakan] cukai, bisa standar (SNI). Tapi kalau dari industri (Kementerian Perindustrian) kan [setujunya menggunakan] standar (SNI)," lanjutnya.

Saat ini, ia mengatakan kekhawatiran yang dialami pelaku industri akan PP 28/2024 adalah hal biasa.

"Kalau mengeluhkan sih tidak, tetapi ada kekhawatiran. Ya biasalah perubahan-perubahan itu pasti ada kekhawatiran," tutur Putu.

Putu pun menjelaskan bahwa kekhawatiran yang dialami pelaku industri lebih pada pengaturan-pengaturan yang ada, kelak menutut para pengusaha harus melakukan penyesuaian.

Penyesuaian yang dimaksud, karena PP Kesehatan 28/2024 banyak mengatur soal komposisi makanan, maka harus ada perubahan dan penyesuaian untuk selera.

"Jadi itu semuanya ya biasalah. Ada suatu perubahan yang tidak kecil. Secara fundamental itu ada perubahan yang luar biasa itu ada kekhawatiran. Tapi mudah-mudahan ini jalannya bisa dilaksanakan dengan lancar dan smooth," ucap Putu.

Ia memastikan, kekhawatiran itu akan terus dikawal pihaknya. Putu menyebut pelaku industri harus tetap nyaman.

Di antara poin PP Kesehatan 28/2024 yang menjadi kekhawatiran industri adalah Bab II Bagian Kedua Puluh Satu Pengamanan Zat Adiktif, dari Pasal 429 sampai Pasal 463 PP 28/2024.

Bagian tersebut mengatur soal pengendalian zat adiktif produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, baik rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif.

Contohnya seperti Pasal 434 ayat (1) yang berbunyi, setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:

- Menggunakan mesin layan diri;

- Kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;

- Secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;

- Dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;

- Dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; dan

- Menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Selain itu, poin PP 28/2024 yang dijadikan sorotan pelaku industri adalah soal pelarangan adanya iklan pada makanan olahan yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak.

Adapun adanya aturan ini demi memaksimalkan upaya pemerintah terkait pembatasan kandungan gula, garam, dan lemak di pangan olahan maupun siap saji.

Tak hanya iklan, pemerintah juga melarang adanya promosi dan sponsor dari pangan olahan dalam suatu acara ketika memiliki kandungan gula, garam, dan lemak melebihi batas.

"Menetapkan ketentuan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor pada pangan olahan termasuk olahan siap saji," demikian bunyi Pasal 200 huruf b di PP Kesehatan tersebut.

Lewat aturan itu pula, setiap orang atau pelaku usaha yang memproduksi, mengimpor, hingga mengedarkan pangan olahan wajib mencantumkan label kandungan di dalamnya.

Apabila melanggar, maka para pelaku usaha bakal diberi sanksi berupa peringatan tertulis, denda administrasi, hingga yang paling berat yaitu pencabutan izin produksi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas