Kontroversi Pasal Power Wheeling di RUU EBET, Begini Pendapat Pakar UGM
Pasal power wheeling (sewa jaringan) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terus menjadi kontroversi.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pasal power wheeling (sewa jaringan) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terus menjadi kontroversi dan jadi perbincangan serius di kalangan praktisi industri energi dan pengamat.
Skema power wheeling adalah penggunaan bersama jaringan listrik.
Dalam skema ini, produsen tenaga listrik dapat menyalurkan listrik langsung kepada pengguna akhir menggunakan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki pemegang izin.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi berpendapat, pasal power wheeling di RUU EBET harus didrop sebelum keburu disahkan oleh DPR.
Power wheeling merupakan mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) membangun pembangkit listrik EBET, sekaligus menjual secara langsung kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi milik PLN.
“Mengizinkan IPP menjual listrik secara langsung kepada konsumen sesungguhnya merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi,” katanya, Minggu (08/09/2024).
Hal tersebut bertentangan dengan UU No.30/2009 tentang ketenagalistrikan, Keputusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 dan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Dia menilai, membuka akses power wheeling ke pemegang wilayah usaha (wilus), baik wilus PLN maupun non PLN industri justru akan menggerus pendapatan PLN. Pasalnya 90 persen pendapatan PLN berasal dari pelanggan industri.
Selain menggerus pendapatan PLN, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) bersifat intermitten yang dipengaruhi matahari dan angin.
Baca juga: Menteri Bahlil Diminta Waspadai Penyelundupan Pasal Power Wheeling di RUU EBT
“Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Kalau tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN ,” imbuhnya.
Skema power wheeling yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dikhawatirkan dapat merugikan negara dan masyarakat. Untuk itu, kebijakan ini dinilai perlu ditinjau kembali dengan cermat.
MK Sudah Larang Praktik Unbundling Seperti Skema Power Wheeling
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio berpendapat, investasi dan operasional yang diperlukan untuk membangun infrastruktur energi baru dan terbarukan (EBET) sangat besar.
Antara lain biaya untuk membangun pembangkit backup sehingga berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang.
“Jika biaya tersebut tidak ditanggung negara, maka akan dibebankan langsung kepada konsumen melalui kenaikan tarif dasar listrikl,” ujarnya dalam keterangan tertulis, 5 September 2024 seperti dikutip Kontan.