Pensiun Dini PLTU, Kementerian ESDM Pertimbangkan Aspek Ini
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, Pemerintah kini tengah mengupayakan target Net Zero Emission
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, Pemerintah kini tengah mengupayakan target Net Zero Emission pada tahun 2050 atau lebih cepat.
Salah satunya yakni pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbasis batubara.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, eksekusinya memang tengah dimatangkan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Baca juga: PLTU Ombilin Manfaatkan Limbah Serbuk Kayu untuk Bahan Bakar Gantikan Batu Bara
Diketahui, Indonesia tengah memfinalisasi paket pensiun dini PLTU berkapasitas 660 megawatt (MW) yang akan menjadi proyek percontohan untuk transisi energi.
"Poin yang penting karena begitu kita taking out coal 660 MW tidak bisa serta-merta renewable masuk menjadi pengganti," ungkap Eniya dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) di Jakarta, Selasa (10/9/2024).
"Karena masalah kehandalan sistem dan tentang security. Nah ini harus kita perhitungkan dengan cermat, kombinasi," sambungnya.
Adapun, jenis energi yang digadang-gadang bakal menjadi tumpuan di masa mendatang seperti energi berbasis surya, geothermal, hingga jenis EBT lainnya.
Lalu, keberadaan gas bumi kedepannya juga masih diperlukan.
"Kita tidak cuma taking out coal tetapi penggantinya apa? Nah pada saat itu, penggantinya renewable? Tidak mungkin, tidak mungkin bisa renewable saja," papar Eniya.
"Kita inginkan adanya kombinasi gas, sehingga waktu itu pembahasan gas dengan renewable," lanjutnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengungkapkan, terdapat dua tantangan terbesar dalam merealisasikan Net Zero Emission (NZE) di sektor ketenagalistrikan.
Baca juga: Pemerintah Pikir-pikir Pensiun Dinikan 13 PLTU, Anak Buah Bahlil Ungkap Sederet Pertimbangannya
Eniya mengatakan, tantangan pertama adalah bagaimana mengurangi emisi dari pembangkit listrik yang ada.
Baik melalui pengurangan maupun penghentian secara bertahap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batubara.
Adapun, pensiun dini PLTU memerlukan dana yang sangat besar.
"Tantangan kedua adalah bagaimana menghadirkan lebih banyak EBT untuk menggantikan bahan bakar fosil dan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan yang diperkirakan sekitar 4 persen per tahun," imbuh Eniya dalam agenda Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Dirinya melanjutkan, untuk mengatasi tantangan yang dimaksud, pemerintah telah menetapkan rencana untuk pengembangan 367 gigawatt (GW) pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2060.
Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan menjadi 115 GW, pembangkit listrik terbesar.
Kemudian, diikuti oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar 46 GW, PLT Amonia sebesar 41 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu sebesar 37 GW.
Selain itu, tidak ada tambahan pembangkit listrik batu bara setelah tahun 2030, kecuali yang sedang dalam tahap konstruksi.
Eniya menjelaskan, dngan transformasi sistem energi yang didominasi oleh energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, akan muncul tantangan dalam hal stabilitas jaringan.
Untuk mengelola berbagai energi terbarukan dalam jumlah besar di sektor listrik secara efektif, sumber teknologi yang menyediakan fleksibilitas perlu dipersiapkan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.