Skema Power Wheeling Bebani APBN, Peneliti INDEF: Pemerintah Perlu Lihat Implikasinya di RUU EBET
Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menilai pemerintah dan DPR RI tak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan yang dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Sebab skema itu berpotensi membebani keuangan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode mendatang.
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan transmisi, di mana pihak swasta diizinkan membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung kepada masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.
“Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan. Karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang,” kata Abra kepada wartawan, Senin (9/9/2024).
Menurutnya, lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik milik swasta melalui skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
“Ada beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara,” kata Abra.
Kata Abra, setiap gigawatt (GW) yang masuk melalui skema power wheeling akan mengajibatkan tambahan beban biaya hingga mencapai Rp3,44 triliun untuk biaya take or pay dan biaya cadangan.
“Implikasinya, akan timbul tambahan cadangan putar untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem kelistrikan. Sehingga setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun yang tentu akan membebani keuangan negara,” jelas Abra.
Baca juga: Menteri Bahlil Diminta Waspadai Penyelundupan Pasal Power Wheeling di RUU EBT
Menurutnya, pemerintah tidak perlu memberikan gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dalam RUPTL terbaru, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 GW, di mana porsi swasta sudah mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
“Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan seharusnya menjadi benteng terakhir penolakan implementasi skema power wheeling yang berisiko merugikan negara. Karena Kementerian Keuangan tahu betul kondisi keuangan negara pada pemerintahan mendatang," kata Abra.
Abra menambahkan, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Baca juga: Kontroversi Pasal Power Wheeling di RUU EBET, Begini Pendapat Pakar UGM
“Terlepas dari instrumen yang akan diberikan, pengembangan energi baru terbaru terbarukan cukup menggunakan RUPTL yang sudah disepakati bersama,” katanya.
Abra menegaskan pemerintah harus terus waspada terhadap pembahasan RUU EBET yang di dalamnya memuat pasal power wheeling.
"Risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap Pembangunan dan masyarakat kecil," pungkas Abra.