Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ekonom: Paksakan PPN 12 Persen Berlaku Mulai Januari Akan Turunkan Daya Beli Masyarakat

Daya beli masyarakat akan turun jika pemerintah menerapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai Januari 2025.

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Ekonom: Paksakan PPN 12 Persen Berlaku Mulai Januari Akan Turunkan Daya Beli Masyarakat
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Senin (16/9/2024). Daya beli masyarakat akan turun jika pemerintah menerapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai Januari 2025.TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, daya beli masyarakat akan turun jika pemerintah menerapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai Januari 2025.

Menurutnya, masyarakat kelas menengah sebelumnya sudah dihantam dengan kenaikan harga pangan dan di satu sisi, sulit mendapat lapangan pekerjaan. Ditambah tahun depan penerapan PPN 12 persen diberlakukan.

"Khawatir belanja masyarakat bisa turun, penjualan produk sekunder seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat. Sasaran ppn ini kelas menengah dan diperkirakan 35 persen konsumsi rumah tangga nasional bergantung dari konsumsi kelas menengah," kata Bhima saat dihubungi Tribunnews, Selasa (19/11/2024).

Selain itu, Bhima juga menyebut kenaikan PPN 12 persen ini berimbas terhadap para pelaku usaha. Omzet bakal berdampak dan pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. 

Berita Rekomendasi

"Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor," tutur Bhima.

Untuk itu, Bhima menyarankan pemerintah perlu memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12 persen, karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang dominan disumbang dari konsumsi rumah tangga. 

"Pola konsumen juga akan berubah. opsinya pertama, preferensi belanja barang yang lebih murah harganya. opsi kedua, menunda pembelian barang sekunder dan tersier," ucap Bhima.

"Opsi ketiga, belanja di warung atau ritel informal yang tidak dikenakan tarif PPN. Kalau opsi kedua dan ketiga terjadi, potential loss dari penerimaan pajak akan besar."

"Jadi kenaikan tarif PPN akan memicu lonjakan aktivitas underground economy," sambungnya.

Baca juga: Pemerintah Bakal Terapkan PPN 12 Persen, Ajakan Frugal Living Menggema di Media Sosial 

Bhima menegaskan bahwa, kenaikan PPN 12 persen ini bukan menjadi solusi untuk menambah pendapatan negara. Justru bisa mengancam pertumbuhan ekonomi.

"Jelas kenaikan tarif PPN bukan solusi naikan pendapatan negara. Jika konsumsi melambat maka pendapatan negara dari berbagai pajak termasuk PPN justru terpengaruh," ungkapnya.

Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
 

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Melambat, Kenaikan PPN 12 Persen Sebaiknya Ditinjau Ulang

Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.

Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
 
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas