Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Temuan CPI: Ada Gap Investasi Antara Pembangkit Listrik Fosil dengan EBT

Menurut Tiza, ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta

Penulis: willy Widianto
Editor: Acos Abdul Qodir
zoom-in Temuan CPI: Ada Gap Investasi Antara Pembangkit Listrik Fosil dengan EBT
Tribunnews/JEPRIMA
Suasana aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Cilegon, Banten, Selasa (28/6/2022). PLTU Suralaya memilik kapasitas pembangkit sebesar 3.400 Megawatt (MW) yang terdiri dari Unit 1-7. Unit 1-4 memiliki kapasitas total sebesar 1.600 MW, dan Unit 5-7 memiliki kapasitas total sebesar 1.800 MW dan bisa disebut juga sebagai tulang punggung kelistrikan Jawa-Bali. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi analisis dan penasihat dengan keahlian mendalam di bidang keuangan dan kebijakan iklim Climate Policy Initiative (CPI) melakukan pemetaan terhadap seluruh investasi untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) versus bahan bakar fosil di Indonesia serta pendanaan yang mengalir melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pemetaan yang dijuluki dasbor interaktif tersebut dikembangkan dengan metode triangulasi berupa konsolidasi dataset dari berbagai sumber resmi, dasbor ini menjawab permasalahan akses dan transparansi data investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia.

Fitur interaktif dasbor ini juga memudahkan dalam melihat arus investasi berdasarkan sumber, penggunaan tematik dan alokasi sektoral sehingga pemangku kepentingan pemerintah dan industri terkait dapat mengidentifikasi titik masuk investasi, kesenjangan pembiayaan, peluang investasi baru, serta perencanaan strategis terkait agenda transisi energi Indonesia menuju emisi nol bersih.

Direktur CPI Indonesia, Tiza Mafira mengatakan, Indonesia memerlukan visibilitas mengenai apakah kebijakan energi saat ini sudah cukup mempercepat investasi hijau.

"Data menunjukkan bahwa total investasi pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil hampir dua kali lipat dari total investasi pada pembangkit listrik EBT. Ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar," ujar Tiza Mafira dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Jumat (22/11/2024).

Baca juga: Manajer BUMN Diduga Lakukan Pelecehan ke Anak Magang, Erick Thohir Siapkan Sanksi

Berikut temuan kunci dasbor mengenai tren investasi kelistrikan di Indonesia:

1. Rata-rata investasi untuk EBT per tahun (2019 – 2021) adalah sebesar USD 2,2 miliar terpaut jauh dari kebutuhan pendanaan sebesar USD 9,1 miliar per tahun hingga tahun 2030 untuk mencapai target iklim Indonesia seperti tercantum pada dokumen ENDC Indonesia.

Berita Rekomendasi

2. Investasi yang mengalir ke EBT juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar USD 3,7 miliar per tahun.

3. Sebanyak 94 persen pendanaan bahan bakar fosil berasal dari investor swasta (84% asing, 10% domestik). Ini menunjukkan tren mengkhawatirkan pelonjakan investasi fosil dari swasta, terutama modal asing.

4. Membandingkan efisiensi keseluruhan portfolio energi PLN, biaya operasional (di luar biaya depresiasi) pembangkit istrik berbahan bakar fosil per unit produksi cukup tinggi, antara lain diesel (Rp. 2211 per Kwh), gas (Rp. 1402 per Kwh), dan batu bara (Rp.526 per Kwh).

Baca juga: Lawatan ke Luar Negeri, Prabowo Bawa Investasi Rp 249T

5. Biaya operasional per unit produksi portfolio PLN (di luar biaya depresiasi) untuk EBT relatif lebih rendah, antara lain panas bumi (Rp. 924 per Kwh), air (Rp. 104 per Kwh), dan tenaga surya (Rp.1347 per Kwh). Simulasi biaya operasional (di luar biaya depresiasi) per unit produksi PLTU batubara tanpa kebijakan subsidi DMO menghasilkan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi, yaitu sebesar Rp. 1013 per Kwh

6. PLN berpeluang menurunkan biaya operasional per unit produksi tenaga surya menjadi Rp 296 per Kwh dengan meningkatkan faktor kapasitas pembangkit tenaga suryanya menjadi empat kali lebih tinggi, sehingga setara dengan rata-rata faktor kapasitas pembangkit tenaga surya di Asia Tenggara.

"Meskipun ada gap yang signifikan antara realisasi nilai investasi EBT dan komitmen iklim Indonesia, temuan kunci tersebut juga menunjukkan peluang strategis mengalihkan arus investasi menuju perekonomian berkelanjutan dan rendah karbon bagi Indonesia," ujar Tiza Mafira.

Menurut Tiza, ada peluang yang sangat besar untuk memikirkan kembali dan mengalihkan arus investasi tersebut, terutama dari lembaga keuangan swasta internasional sebagai kontributor terbesar.

"Dengan memanfaatkan data investasi yang komprehensif di dasbor kami, kebijakan dan investasi dapat dioptimalkan untuk membangun masa depan yang aman, kompetitif, dan rendah karbon bagi Indonesia,” jelas Tiza Mafira.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas