Peneliti: Kebijakan Benih Bening Lobster Dianggap Untungkan Nelayan
Hasil penelitian menunjukkan ada tiga hal utama yang membuat para nelayan lobster
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hasil penelitian menunjukkan nelayan lobster mengakui kebijakan Benih Bening Lobster (BBL) bernilai positif bagi pendapatan mereka, serta dapat menjaga kelestarian lobster di perairan Indonesia.
Pusat Studi Komunikasi, Media, Budaya dan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) melakukan penelitian terhadap nelayan lobster di tiga lokasi perairan Indonesia.
Terutama, mengenai pendapat mereka tentang kebijakan BBL yang tertuang dalam Peraturan Menteri dan Kebijakan Menteri Kelautan & Perikanan.
Baca juga: Menteri Trenggono Resmikan Modeling Budidaya Lobster di Batam
Tim peneliti Fikom Unpad yang dipimpin Kunto Adi Wibowo, Ph. D. menyebutkan para nelayan lobster mendukung Kebijakan BBL pemerintah.
"Tercatat sebanyak 87,6 persen responden menyatakan dukungan mereka atas kebijakan pengelolaan BBL," ujarnya, Senin (25/11/2024).
Hasil penelitian menunjukkan ada tiga hal utama yang membuat para nelayan lobster mendukung kebijakan itu.
"Yaitu adanya peningkatan pendapatan, ketersediaan lobster di alam dan kemudahan untuk mendapatkan benih," tambahnya.
Pelestarian lingkungan menjadi perhatian para nelayan, sehingga mereka mendukung pembatasan tangkapan (kuota) dan pengembalian ke alam (restocking) BBL yang ditetapkan melalui Kepmen no 7 tahun 2024.
Sebanyak 65 persen responden sangat setuju bahwa Kebijakan BBL saat ini berimbas positif pada kelestarian lobster di alam.
"Oleh sebab itu mereka menyadari kewajiban untuk mematuhi peraturan pemerintah dengan cara mengembalikan 2 persen tangkapan mereka ke alam, melaporkan hasil tangkapan, serta menggunakan alat tangkap yang pasif dan ramah lingkungan," ucap Kunto.
Baca juga: KKP Gagalkan Penyelundupan Benih Lobster Senilai Rp13 Miliar
Namun demikian Kunto mengingatkan perlunya peningkatan pengetahuan nelayan lobster terhadap kebijakan BBL. Pemerintah pusat, dalam hal ini KKP perlu lebih aktif turun ke lapangan untuk memberi penyuluhan.
"Dengan demikian pengetahuan masyarakat nelayan lobster akan meningkat dan mereka merasa negara memperhatikan permasalahan mereka," ujarnya.
Kunto menambahkan, bahwa penyuluhan dalam bentuk tatap muka menjadi pilihan utama untuk penyampaian informasi yang tepat kepada para nelayan, karena lokasi-lokasi para nelayan lobster seringkali jauh dari akses transportasi dan telekomunikasi.
Salah satu contoh di Kabupaten Pesisir Barat yang menjadi lokasi penelitian, media dan internet yang biasanya menjadi sumber informasi bagi masyarakat perkotaan tidak dapat menjangkau mereka karena akses menuju ke lokasi sangat jauh dan tidak mudah.
Penelitian dilakukan di tiga sentra penangkapan lobster, yaitu Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat melibatkan 400 responden dengan tingkat kesalahan atau margin of error sebesar 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Penelitian dilakukan melalui wawancara tatap muka dalam rentang waktu antara 8-19 Oktober 2024.
"Kementerian Kelautan dan Perikanan sebaiknya menggandeng para ketua kelompok nelayan dan pemimpin lokal dalam rangka penyebaran informasi bagi para nelayan lobster," terangnya.
Apalagi para nelayan lobster menghabiskan waktunya berhari-hari di laut untuk melakukan penangkapan, sehingga mereka perlu mendapat perlakuan khusus saat mengedukasi tentang kebijakan BBL.