Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kondisi Industri Tekstil Memprihatinkan, Permintaan Merosot, 1 Pabrik di Karawang Tutup

Kondisi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kian memprihatinkan.

Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Kondisi Industri Tekstil Memprihatinkan, Permintaan Merosot, 1 Pabrik di Karawang Tutup
Endrapta Pramudhiaz/Tribunnews.com
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024) malam. 

 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kondisi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kian memprihatinkan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengungkap bahwa utilisasi kapasitas industri saat ini sudah di bawah 50 persen.

"Kondisi industri TPT ini utilisasi sekarang sudah di bawah 50 persen. Kita lihat belum lama ini kan teman kita di Jawa Tengah kita tahu ada yang masalah," katanya dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024) malam.

Baca juga: Industri Tekstil Lesu, Perusahaan Garmen Banting Setir Garap Sektor Kesehatan

Lalu, kata Jemmy, ada juga penutupan pabrik oleh PT Asia Pacific Fibers Tbk (Asia Pacific) di Karawang yang sudah efektif per 1 November lalu.

Pabrik-pabrik yang masih beroperasi pun terpaksa hanya menjalankan kapasitas di bawah 50 persen.

Berita Rekomendasi

Sementara itu, dalam hal pasokan bahan baku, khususnya serat polyester, situasi di lapangan juga membingungkan.

Jemmy mengungkapkan bahwa Indonesia seharusnya menghadapi kekurangan pasokan serat polyester setelah beberapa pabrik besar tutup.

"Di industri serat polyester itu kita kehilangan 12 ribu ton pasokan per bulan dan 6 bulan sebelumnya satu pabrik di Tangerang mereka kapasitas 2 ribu ton per bulan. Berarti hilang 14.000 ton," ujar Jemmy.

Namun, meskipun ada kekurangan pasokan, kenyataannya industri TPT Indonesia masih kelebihan stok serat polyester.

"Harusnya secara akal sehat kita ini di Indonesia itu kekurangan serat polyester. Tapi nyatanya sampai hari ini kita ini masih berlebih serat polyester," ucap Jemmy.

Baca juga: Wamenaker Noel Kembali Sambangi Sritex, Pastikan Tidak Ada PHK dari Perusahaan

Ia pun menyimpulkan bahwa di sana terdapat permintaan atau demand yang merosot.

Padahal, saat ini masih ada kesempatan untuk pelaku industri membeli lebih banyak bahan baku sebelum kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025. 

"Harusnya 1-2 bulan ini kalau pedagang ini ada opportunity nih (sebelum) PPN naik. Harusnya pedagang apa? Beli barang. Tapi nyatanya sampai hari ini demandnya bukan naik, malah permintannya dari minggu ke minggu ini turun," tutur Jemmy.

Dalam kesempatan sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam menilai seharusnya negara yang membutuhkan industri TPT, bukan malah sebaliknya.

Menurut dia, industri TPT sangat penting untuk mendistribusikan kesejahteraan.

Industri ini dibutuhkan negara karena dapat berkontribusi dalam pemerataan pendapatan.

"Jadi sebenarnya bukan industri TPT yang membutuhkan negara, tapi negara yang membutuhkan industri TPT," kata Bob.

Jika pendapatan per kapita Indonesia sudah lebih tinggi seperti di sekitar 8 ribu dolar AS sampai 9 ribu dolar AS, mungkin pemerintah baru bisa berpikir untuk beralih ke industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi.

Namun, sekarang posisinya pendapatan per kapita Indonesia belum mencapai angka segitu.

Ia menjelaskan bahwa keberadaan industri padat karya seperti tekstil untuk di negara dengan pendapatan per kapita yang rendah seperti Indonesia, masih dibutuhkan. 

"Kita tuh merasa kok kayak dibalik-balik kayak kita yang memohon-mohon. Mestinya negara yang membutuhkan industri padat karya," ujar Bob.

"Kita masih punya saudara-saudara kita yang pendidikan yang menengah bawah, masih banyak butuh pekerjaan," pungkasnya.

Asia Pasific Hentikan Sementara Pabrik di Karawang

PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) menghentikan sementara salah satu unit produksi pabrik kimia dan serat di Karawang, Jawa Barat mulai 1 November 2024 lalu.

Perusahaan menghadapi tren penurunan operasi hingga kuartal III-2024, di mana utilisasi perusahaan diperkirakan berada di bawah level 40 persen.

"Faktor eksternal berupa kelebihan pasokan global masih menjadi penyebab turunnya permintaan," urai Direksi Perseroan dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (1/11), dikutip dari Kontan.

Selain itu, POLY juga menghadapi tekanan signifikan terhadap modal kerja dan belanja modal seiring proses restrukturisasi utang perusahaan yang tak kunjung selesai sejak 2005.

Penghentian pabrik yang telah eksis selama tiga dekade ini akan berdampak pada koreksi pendapatan tahunan POLY hingga 52 persen.

Dalam periode 60 hari sejak penghentian operasional, Manajemen POLY akan mereposisi model usaha untuk menyesuaikan konfigurasi produk yang akan ditawarkan pada saat pabrik kembali dioperasikan.

POLY tengah bernegosiasi dengan pihak ketiga dalam rangka memperoleh pendanaan modal kerja baru dan aktif menindaklanjuti sejumlah kerja sama dengan pihak eksternal untuk memaksimalkan fasilitas produksi perusahaan.

"Kami secara proaktif mempercepat pembahasan konsep restrukturisasi dengan semua kreditur untuk memberi akses yang normal bagi perusahaan ke perbankan," jelas Direksi Perseroan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas