Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Wamenaker Noel Soal 250 Ribu Buruh Tekstil Kena PHK Selama 2022-2024: Pantas Dicermati

APSyFI menyatakan bahwa selama 2022-2024 atau dalam dua tahun terakhir, sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup.

Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Wamenaker Noel Soal 250 Ribu Buruh Tekstil Kena PHK Selama 2022-2024: Pantas Dicermati
HO/
Ilustrasi: Ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk menggelar Istiqhosah Akbar untuk memohon Keselamatan dan Kebangkitan Sritex Kembali Berjaya, di halaman pabrik, di Jawa Tengah. PHK sedang melanda perusahaan tekstil di Indonesia. 

 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer buka suara soal pernyataan Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang menyebutkan 250 ribu karyawan di industri tekstil terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama 2022-2024.

Pria yang akrab disapa Noel itu menilai, data APSyFI itu pantas dicermati, dicari tahu apakah benar atau salah.

Baca juga: Sidang Gugatan di MK, Ahli Sebut UU Tapera Berpotensi Picu PHK dan Bertentangan dengan Hak Asasi

Adapun berdasarkan data APSyFI, sepanjang dua tahun terakhir, impor ilegal membanjiri pasar domestik yang menyebabkan 60 pabrik tutup dan 250 ribu buruh terkena PHK.

“Atas keluhan APSyFI, semua pihak sebaiknya bijaksana, mencari tahu apakah keluhan ini benar atau tidak. Kalau benar, perlu kerja sama semua pihak, sebab impor illegal menyangkut kehidupan buruh,” katanya dikutip dari keterangan tertulis pada Kamis (19/12/2024).

Noel menekakan bahwa peran Kemnaker di sini adalah dalam urusan buruh. Maka dari itu, jika data APSyFI terbukti benar, ia menilai perlu kerja sama semua pihak untuk mengatasi hal tersebut.

Berita Rekomendasi

“Kami hanya bisa mengatakan, keluhan APSyFI pantas dicermati semua pihak. Kalau salah kita pantas mengingatkan APSyFI. Tetapi kalau benar, semua pihak perlu bekerja sama untuk mengakhiri impor illegal yang melemahkan lapangan kerja,” ujarnya.

Sebelumnya, APSyFI menyatakan bahwa selama 2022-2024 atau dalam dua tahun terakhir, sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250 ribu karyawan mengalami PHK.

Menurut Redma, penutupan perusahaan-perusahaan tekstil ini dipicu oleh meningkatnya impor ilegal yang mengalir ke pasar domestik tanpa kontrol yang ketat dari pemerintah.

Baca juga: Kebijakan Tarif Impor Trump Bakal Bawa Bencana di AS, PHK Massal Hilangkan 400.000 Lapangan Kerja

Hal itu telah memperburuk kondisi industri tekstil di Indonesia, yang menurut dia telah mengalami deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.

Redma menjelaskan, pada 2021 saat pandemi COVID-19, ketika impor dari China terhenti, industri tekstil Indonesia sempat mengalami pemulihan.

Namun, begitu lockdown berakhir dan impor dibuka kembali, barang-barang ilegal pun membanjiri pasar, membuat banyak perusahaan terpaksa menghentikan operasional mereka.

Kondisi ini juga berdampak pada sektor-sektor terkait seperti industri petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA) yang merupakan bahan baku utama tekstil.

Menurutnya, jika produksi PTA terganggu, permintaan listrik untuk sektor tekstil pun menurun.

"Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik," kata Redma dalam keterangan tertulis.

Menurut dia, industri tekstil sebenarnya sangat penting bagi perekonomian Indonesia.

Industri tekstil berkontribusi 11,73 persen terhadap konsumsi listrik sektor industri dan 5,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Namun, sebagian besar pasar domestik kini dipenuhi oleh barang-barang impor ilegal yang menyebabkan kerugian bagi negara, baik dari sisi pajak maupun bea masuk.

“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia, dengan sekitar 40 persen barang yang masuk ke Indonesia tidak tercatat secara resmi,” tambahnya.

Ia pun menyarankan agar pemerintah segera mengatasi masalah impor ilegal ini untuk menyelamatkan pasar domestik dan memungkinkan industri tekstil lokal pulih.

Jika masalah ini diatasi, Redma yakin sektor tekstil bisa kembali menyumbang hingga 8 persen terhadap PDB.

Untuk itu, berbagai langkah harus diambil, termasuk pembatasan impor yang lebih ketat dan perbaikan sistem di pelabuhan.

Menurutnya, ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest import (dokumen resmi barang impor) yang tidak sinkron.

Kelemahan sistem di pelabuhan disebut menjadi celah bagi masuknya barang ilegal.

Ia turut menekankan pentingnya meningkatkan daya saing produk lokal.

Dengan memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar, Indonesia bisa menghidupkan kembali industri tekstil dan mengurangi ketergantungan pada impor.

“Namun, semua ini harus dimulai dengan memperbaiki regulasi dan menangani masalah impor ilegal,” pungkas Redma. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas