Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia: Pemerintah Harus Otoriter Tangani COVID-19
Sejak ditemukannya kasus COVID-19 di Indonesia, jumlah pasien terkonfirmasi penyakit ini terus meningkat.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak ditemukannya kasus COVID-19 di Indonesia, jumlah pasien terkonfirmasi penyakit ini terus meningkat.
Sampai tanggal 20 Maret 2020, 369 orang sudah dinyatakan terkena virus ini di wilayah Indonesia dan menimbulkan 32 kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan COVID-19 sebagai infeksi pandemi, yang sudah menjadi bencana global.
"Jumlah penderita sebenarnya di masyarakat umum diperkirakan jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan."
"Hal ini mengingat tidak semua penderita suspek diperiksa di laboratorium, atau penderita enggan melaporkan penyakitnya ke fasilitas kesehatan," ujar Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia bidang Globalisasi Kesehatan Senior, Dono Widiatmoko, Sabtu (21/3/2020).
Untuk meningkatkan deteksi penyakit COVID-19, pemerintah sudah mulai melaksanakan program deteksi dengan metode Rapid Test Screening di beberapa tempat.
Namun, Dono mengatakan perlu diketahui bahwa metode ini hanya bisa memberi informasi apakah seseorang pernah terpapar virus Corona.
Dan tidak bisa mengetahui apakah orang tersebut pada saat ini sakit atau infeksius.
Deteksi, lanjutnya, pasti hanya bisa dilakukan dengan metode real-time reverse transcription polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium tertentu.
Ia pun menyarankan agar pemerintah meningkatkan kemampuan deteksi dengan metode PCR sesegera mungkin.
Dengan mengerahkan semua universitas dan institusi lain yang mempunyai alat PCR untuk digunakan pemerintah.
"Tingginya angka kesakitan penyakit ini akan berdampak pada kemampuan Rumah Sakit dan layanan kesehatan lain dalam melayani penderita penyakit," jelasnya.
Untuk itu diharapkan agar masyarakat juga mengurangi penggunaan layanan kesehatan untuk kondisi yang tidak terlalu diperlukan.