Ingatkan Pemerintah Hati-hati Cetak Uang Baru, Bisa Dorong Inflasi yang Tinggi
Syarief beralasan pencetakan uang baru justru dapat mendorong inflasi dan masyarakat kehilangan daya belinya.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mengingatkan pemerintah berhati-hati dalam mengambil kebijakan atau rencana untuk mencetak uang baru.
Syarief beralasan pencetakan uang baru justru dapat mendorong inflasi dan masyarakat kehilangan daya belinya.
"Pemerintah harus berhati-hati dalam rencana untuk mencetak uang baru yang akan mendorong inflasi yang tinggi dan mengakibatkan rakyat semakin kehilangan daya beli," ujar Syarief, kepada wartawan, Kamis (30/4/2020).
Baca: Menkeu: Dana Pelatihan Prakerja Kembali ke Negara Jika Tak Terpakai
Politikus Demokrat tersebut menilai anggaran pemerintah terkait proyek infrastruktur dan anggaran yang diperuntukkan bagi Ibukota baru sebaiknya dibatalkan.
Menurutnya hal tersebut dapat dialihkan dan membantu APBN yang semakin melebar defisitnya, sekalipun Perppu No.1 Tahun 2020 memperbolehkannya.
"Lakukan refocusing anggaran secara transparan dan accountable, dan ini hanya bisa dilakukan dengan menolak Perppu No.1 Tahun 2020 dan melalui APBNP 2020," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Corona Virus Disease 19 (Covid-19) telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap pelemahan kondisi ekonomi dan keuangan global.
Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dan keuangan global yang mengancam kondisi ekonomi dan stabilitas sistim keuangan nasional, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah mengatakan Pemerintah telah mengambil langkah-langkah dalam penanganan untuk mengatasi pandemi virus corona, baik penanganan yang berkaitan dengan penanganan kesehatan masyarakat, maupun penanganan akibat dampak ekonominya.
Baca: 54 Persen Kasus Positif Corona di Indonesia Didominasi Umur Produktif 30-59 Tahun, Ini Artinya
"Namun melihat besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan, Badan Anggaran DPR RI memperkirakan skenario penganggaran yang direncanakan pemerintah tampaknya kurang mencukupi," ujar Said Abdullah dalam keterangannya, Selasa (29/4/2020).
Menurut politisi PDIP ini, hal itu didasarkan pada ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan sebagai akibat menurunkannya kegiatan ekonomi, sehingga menurunnya kemampuan debitur membayar kredit.
Baca: Kondisi Kesehatan Kim Jong Un Masih Misteri, Kereta Sang Pemimpin Korea Muncul Lagi di Wonsan
"Serta membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan," ujar Said.
Berpijak pada dua hal tesebut, Banggar DPR RI merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk melakukan sejumlah hal.
Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.
Selanjutnya, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.