BHS Nilai Pemerintah Langgar UU Jika Melarang Penumpang Gunakan Angkutan Penyeberangan
Apalagi, kapal ferry sudah dilengkapi dengan poliklinik sehingga lebih layak dibandingkan dengan infrastruktur lain.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Pemerintah melanggar undang-undang apabila melarang penumpang atau kendaraan pribadi menggunakan angkutan penyeberangan dengan dalih mencegah penyebaran virus corona (Covid-19), apalagi jika larangan itu diterapkan di luar wilayah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur Bambang Haryo Soekartono (BHS), angkutan penyeberangan bukan sekadar sarana transportasi, melainkan juga berfungsi sebagai infrastruktur seperti halnya jalan raya atau jembatan, sehingga tidak boleh dibatasi atau ditutup.
Fungsi infrastruktur ini dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 104/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dalam Pasal 1 Ayat 1 PM tersebut dijelaskan bahwa angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta isinya.
“Jadi melarang penumpang dan kendaraan menggunakan angkutan penyeberangan, sama saja dengan menutup jalan raya, jembatan atau jaringan kereta api. Yang melakukan itu berarti melanggar peraturan perundang-undangan karena mengganggu infrastruktur dan bisa dituntut,” tegasnya, Rabu (6/5/2020).
Ketua Dewan Pembina Gapasdap (Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) ini menyoroti pelarangan penumpang dan kendaraan pribadi menyeberang dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi menuju Pelabuhan Gilimanuk Bali pekan lalu, yang sempat menimbulkan kisruh.
Padahal, kedua wilayah itu belum menerapkan PSBB sebagai dasar pembatasan transportasi.
Pelarangan penumpang melintasi penyeberangan itu diterapkan setelah terbit Peraturan Menhub No. PM 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
“Pemerintah pusat dan daerah seharusnya membuat peraturan berdasarkan UU, tidak boleh melarang seorang warga negara masuk ke daerah lain sebab NKRI adalah satu kesatuan dan tidak bersekat-sekat,” tegas anggota DPR RI periode 2014-2019 ini.
Sebagai jembatan penghubung jaringan jalan, tutur Bambang Haryo, angkutan penyeberangan tentu boleh digunakan semua jenis kendaraan, termasuk kendaraan pribadi.
Contohnya, Jembatan Suramadu bebas dilintasi semua kendaraan termasuk pejalan kaki.
Oleh sebab itu, kata Bambang Haryo, setiap calon penumpang yang sudah berada di pelabuhan wajib diberangkatkan dengan tetap melaksanakan protokol pencegahan Covid-19, seperti pembatasan jumlah penumpang, wajib pakai masker, dan menjaga jarak.
Apalagi, kapal ferry sudah dilengkapi dengan poliklinik sehingga lebih layak dibandingkan dengan infrastruktur lain.
“Warga yang keluar dari satu wilayah seharusnya juga sudah melalui mekanisme pemeriksaan kesehatan di masing-masing daerah. Mereka juga dapat diminta melakukan isolasi mandiri saat tiba di daerah tujuan, sehingga tidak perlu dilarang masuk ke satu daerah. Mobilitas warga tidak semuanya dalam rangka mudik, tetapi banyak keperluan lain seperti bisnis atau urusan darurat dan mendesak,” katanya.
Dia mengkritik keras kebijakan Pemprov Bali yang menolak pendatang masuk ke wilayahnya walaupun provinsi itu belum berstatus PSBB.
Menteri Kesehatan diminta menegur Pemprov Bali karena telah melampaui kewenangannya.
Meskipun ada larangan mudik, lanjut Bambang Haryo, setiap warga negara berhak kembali ke daerah asalnya.
Hal ini bahkan dimungkinkan dalam Permenkes No. 9/2020 tentang Pedoman PSBB.
Menurut Bambang Haryo, PM 25/2020 telah menimbulkan kekacauan dalam sistem transportasi serta mengganggu konektivitas nasional, sehingga merugikan masyarakat dan angkutan penyeberangan yang melaksanakan UU.
Dia juga melihat penerapan PM tersebut diskriminatif, sebab angkutan penerbangan masih dibolehkan mengangkut penumpang internasional dan charter.
“Menko Luhut harus segera mencabut dan merevisi PM 25/2020, jika tidak masyarakat harus melakukan class action dan angkutan penyeberangan pun bisa menuntut karena merasa dirugikan," katanya.
YLKI juga, menurut dia, harus mengawal masalah ini karena selain merugikan konsumen, keselamatan mereka terancam karena dipaksa putar balik setelah tiba di daerah tujuan.
"Kalau mereka mengalami kecelakaan atau kelaparan di perjalanan, siapa yang tanggung jawab. Pemerintah jangan abaikan kesusahan rakyat,” tegas Bambang Haryo.