Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sejumlah Kebijakan saat Pandemi Dinilai Tak Berdasar Sains, Peneliti: Belum Menjadi Budaya

Sejumlah kebijakan di masa pandemi dinilai tak bertumpu pada sains. Peneliti mengataka sains belum menjadi pola pikir dan budaya di Indonesia.

Penulis: Widyadewi Metta Adya Irani
Editor: Ayu Miftakhul Husna
zoom-in Sejumlah Kebijakan saat Pandemi Dinilai Tak Berdasar Sains, Peneliti: Belum Menjadi Budaya
Tenaga medis dan ilustrasi corona virus.
Kolase TribunNewsmaker - Xinhua via SCMP dan Shutterstock 

TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah kebijakan pemerintah di masa pandemi dinilai tidak bertumpu pada sains.

Hal itu disampaikan oleh dr. Iswanto saat menjadi moderator dalam Webinar bertajuk 'Hari Kebangkitan Nasional: Berkhidmat pada Sains' yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Rabu (20/5/2020) lalu.

"Tema ini kami ambil karena tentu kami berkaca pada masa lalu, dimana kebangkitan nasional itu digawangi oleh para cerdik-pandai, kedua melihat konteks pada hari ini, terutama di era pandemi, kita tahu bahwa banyak orang yang terinfeksi."

"Kebijakan pemerintah ada tapi menurut yang kita amati, masih banyak yang tidak bertumpu pada sains," ungkap Iswanto saat membuka webinar pada Rabu sore.

"Di awal-awal pandemi kita tahu ada yang seperti agak mitologis, melihat pandemi ini 'kita bisa menyelesaikan pandemi ini dengan nasi kucing' misalnya, dan banyak hal kemudian tidak berdasarkan sains dalam menyelesaikan pandemi ini," sambungnya.

Baca: Lembaga Eijkman Ungkap Alasan Indonesia Harus Bikin Vaksin Corona Sendiri

Mengenai hal itu, peneliti yang juga merupakan Direktur Lembaga Eijkman tahun 1992-2014, Prof. Dr. Sangkot Marzuki, M.Sc., Ph.D., D.Sc, mengatakan di Indonesia sains memang tidak dijadikan pola pikir dan budaya.

"Tadi kan kita awalnya komplain bahwa keputusan kebijakan yang diambil itu tidak berdasarkan sains dan teknologi, kenapa?"

BERITA TERKAIT

"Karena memang tidak ada di Indonesia ini sains sebagai pola pikir dan budaya," ungkap Sangkot melalui Webinar di Zoom, Rabu.

"Kalau kita mau mengubah itu, kalau kita mau menegakkan yang Presiden Jokowi katakan revolusi mental tapi revolusi mental terkait dengan sains, itu tergantung komitmen kita," tambahnya.

Sementara itu, Sangkot menilai Indonesia perlu membangun scientific culture excellence.

Namun, dalam hal ini, tentunya dibutuhkan komitmen yang panjang.

"Kita perlu membangun scientific culture excellence untuk masa depan panjang, tapi memerlukan komitmen yang panjang," kata Sangkot.

Tak hanya itu, Sangkot menambahkan, untuk mewujudkannya di Indonesia maka perlu meyakinkan bahwa sains merupakan gaya hidup, pola pikir, dan budaya.

Dengan demikian, menurut Sangkot, sains akan berfungsi di Indonesia sebagai dasar kebijakan dan diplomasi.

Baca: Ketua IDI Daeng M Faqih: Membangkitkan Kesadaran Masyarakat Menjadi yang Paling Penting Saat Ini

"Pola pikir dan budaya itu yang kemudian memutar pola, bukan hanya sebagai alat inovasi dan teknologi tetapi juga sebagai dasar kebijakan dan diplomasi," tutur Sangkot.

Menurut Sangkot, jika ingin menjadikan sains sebagai panglima maka Indonesia perlu mengembangkan sains lebih dari apa yang terlihat saat ini. 

"Kalau saya, kalau kita mau menjadikan sains panglima, kita harus mengembangkan sains lebih dari apa yang dianggap peran sains sebagai saat ini," kata Sangkot.

Baca: PB IDI Minta Pemerintah Evaluasi Pelaksanaan PSBB untuk Sektor Terkecualikan

Sangkot mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia beranggapan sains diaplikasikan menjadi industri.

"Kalau kita tanya di Indonesia, hampir semua mengatakan sains itu fungsinya adalah sebagai hulu dari proses industri, tujuan dari sains adalah aplikasi menjadi industri," kata Sangkot.

Sementara itu, jika melihat pada zaman Hindia-Belanda, yang dibangun adalah budaya ilmiah yang unggul.

Menurut Sangkot, dengan memiliki budaya ilmiah yang unggul maka kita dapat memperoleh berbagai manfaat.

"Kalau kita punya budaya ilmiah yang unggul, kita bisa gunakan untuk bermacam-macam, (mengenai) prediksi penyakit tersebut akan berkembang kemana, faktor-faktor penyakit yang baru, dan sebagainya," kata Sangkot.

Menjadikan Sains sebagai Panglima di Masa Pandemi Sudah Terlambat

Menurut Sangkot, untuk menjadikan sains sebagai panglima di masa pandemi, hal itu dinilai sudah terlambat.

"Kalau pada saat pandemi ini sudah terlambat karena sumber daya manusia kita di bidang biologi molekuler dan sebagainya sudah habis terserap untuk menangani pemeriksaan PCR dari Covid-19," kata Sangkot.

Sementara itu, menurut Sangkot ada banyak hal yang perlu mengedepankan saintifik.

"Sebetulnya banyak sekali yang perlu dilakukan saintifik tadi diangkat sekarang misalnya kita baru tau bagaimana hubungan antara rapid test berdasarkan adanya antibody dari Covid-19."

"Dengan ada atau tidaknya virus dari Covid-19 itu melalui deteksi PCR, kita perlu tahu," ujarnya.

Selain itu, menurut Sangkot, saat ini sudah tidak ada sumber daya manusia untuk mempelajari prediksi kelanjutan virus corona.

Menurut Sangkot virus corona ini merupakan RNA virus, sehingga ketika ia diperbanyak dalam sel inangnya atau tubuh manusia maka tidak terkoreksi.

Hal ini sangat berbeda dengan DNA virus.

Sehingga, virus corona ini akan mengalami banyak mutasi dan variasi virus ini di waktu mendatang.

"DNA itu ada sistem di dalam sel kita yang melakukan koreksi kalau ada kesalahan dalam meng-copy molekul DNA tersebut."

"Sehingga, kita tahu, virus Covid-19 ini sama seperti virus influenza, akan banyak sekali mutasinya yang akan datang, akan ada lagi variasi virus ini," jelas Sangkot.

Oleh karena itu, Sangkot menambahkan, kita perlu mengetahui bagaimana perjalanan virus di Indonesia.

Baca: Universitas Indonesia Bantu Rumah Sakit Abepura yang jadi Rujukan Pasien Covid-19

Namun, menurutnya, hal ini sudah terlambat.

"Kita perlu mengetahui apakah perjalanan virus di indonesia itu berbeda dengan misalnya virus yang berjalan ke Amerika, itu semua sudah terlambat, kita tidak mempunyai man power untuk melakukan itu," kata Sangkot.

"Semua man power kita, semua alat-alat kita habis untuk mendiagnosis dan itu pun kita hanya mampu mengolah 5 ribu sampel per hari, jauh dari yang kita butuhkan," sambungnya.

Oleh karena itu, menurut Sangkot, saat ini yang diperlukan yaitu berpikir ke depan jika ingin menjadikan sains sebagai panglima pasca pandemi.

"Kalau kita berpikir ke depan dimana kita harus bergerak, ini tergantung ambisi kita," kata Sangkot.

(Tribunnews.com/Widyadewi Metta)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas