Sosiolog: New Normal Hasil Konstruksi Masyarakat Lebih Cepat Terjadi Ketimbang Bentukan Pemerintah
Kenormalan baru atau new normal di masa pandemi virus corona (Covid-19) hasil konstruksi masyarakat dinilai bisa lebih cepat berlaku.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha

TRIBUNNEWS.COM - Kenormalan baru atau new normal di masa pandemi virus corona (Covid-19) hasil konstruksi sosial masyarakat dinilai bisa lebih cepat terjadi daripada new normal yang ditetapkan pemerintah.
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono mengungkapkan ada dua kenormalan baru.
Keduanya ialah kenormalan baru yang disusun pemerintah (government new normal) dan kenormalan yang dikonstruksi oleh masyarakat (socially constructed new normal).
"New normal yang disusun oleh pemerintah mengikuti protokol kesehatan, sedangkan socially constructed new normal dibuat berdasar kesepahaman masyarakat," ungkap Drajat kepada Tribunnews melalaui sambungan telepon, Selasa (9/6/2020).

Baca: New Normal, Protokol Kesehatan Olahraga Baru Bisa Diberikan Pekan Depan
Namun Drajat menyebut ada gap di antara keduanya.
Kenormalan baru hasil konstruksi masyarakat dinilai lebih cepat berjalan dibanding bentukan pemerintah.
"Tampaknya, socially constructed new normal lebih cepat," ungkap Drajat.
Menurut Drajat, hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang sudah kembali beraktivitas di luar rumah.
Seperti maraknya kegiatan bersepeda atau kerap disebut gowes di berbagai kota seperti Yogyakarta dan Solo Raya.
Drajat menyebut, ada unsur kebosanan yang mendorong konstruksi sosial tersebut.
"Orang merasa bosan, orang melihat di sana orang-orang sudah keluar, juga meyakini dengan bersepeda badannya akan sehat dan bagus untuk melawan Covid-19, maka terbentuklah new normal socially constructed," jelas Drahat.
Menurut Drajat, fenomena maraknya gowes sebagai satu wujud new normal hasil konstruksi masyarakat.
"Memang ada unsur adanya kejenuhan di rumah selama ini, juga muncul karena socially constructed new normal, sudah merasa bahwa keluar bersepeda itu aman sehingga jalan ramai," ungkap Drajat.
Fenomena ini, menurut Drajat, juga akan berkembang di kegiatan lain seperti mulai ramainya kegiatan berbelanja dan rekreasi.
"Ada unsur kesepakatan-kesepakatan sosial yang berkembang dengan cepat," ungkapnya.
Menurut Drajat, kenormalan baru ini menggantikan kenormalan lama yang disebut old normal atau used normal.
Baca: Cara Quality Time Keluarga ala Pemain PSS Sleman Jefri Kurniawan, Pilih Gowes
Fenomena Looking Glass Self
Drajat pun menjelaskan fenomena di masyarakat saat ini dalam ilmu sosiologi disebut looking glass self.
"Artinya, perilaku saya atau definisi diri saya didasarkan oleh penilaian orang lain," ungkapnya.
"Kalau orang lain menilai saya keluar bersepeda itu baik ya besok saya keluar sepedaan, dan terus saya ajak orang lain," imbuhnya.
Drajat mengungkapkan penyebaran konstruksi sosial itu sangat cepat.
"Sehingga new normal yang dikonstruksikan masyarakat bisa mendahului kecepatan new normal pemerintah."
"Sekarang jalan-jalan sudah ramai, karena masyarakat sudah menilai aman selama mematuhi protokol yang ada," ungkap Drajat.
Sementara itu Drajat mengungkapkan, fenomena di masyarakat ini harus diikuti dengan sosialisasi dan imbauan pemerintah.
"Kalau dipandang dari sudut pandang kesehatan sebagai indikator normal tidak normal, ada indikator yang harus dipenuhi," ujarnya.
"Pemerintah dan tim medis perlu melakukan langkah-langkah warning, peringatan kepada masyarkat," imbuh Drajat.
Baca: Cerita Ganjar Pranowo Keliling Naik Sepeda dan Bubarkan Kerumunan Warga
Marak Gowes
Sementara itu diketahui kegiatan gowes terjadi di sejumlah daerah seperti Solo dan Yogyakarta.
Adapun di Yogyakarta, maraknya pesepeda yang membanjiri ruang-ruang publik mendapat respons dari aktivis Elanto Wijoyono.
Meski sangat hobi dan gemar bersepeda, kali ini Elanto ikut geram dengan banyaknya pesepeda musiman di DIY.
Masalahnya, menurut dia mereka hadir hanya untuk berswafoto dan bersenang-senang dengan sepedanya.
"Jarang dari mereka yang sedikit mematuhi protokol kesehatan. Itu sama saja kurang tepat."
"Untuk itu, Pemda DIY harus tegas dalam membuat peraturan karena pandemi Covid-19 belum mereda," kata Elanto dilansir Tribunjogja.com, Senin (8/6/2020).
Respons tersebut ditujukan untuk menanggapi rencana Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono yang mengancam akan meng-'close' publik area, jika masyarakat tetap berkumpul tanpa mengenakan masker dan protokol kesehatan yang ditentukan.
Baca: Respons Sri Sultan Hamengkubuwono X Tahu Banyak Warga Kumpul di Malioboro tanpa Pakai Masker
Secara tidak langsung pria yang sempat viral atas aksinya yang menghadang konvoi Moge pada Agustus 2015 silam ini pun setuju dengan rencana Sultan.
Namun, ia juga memberikan pendapatnya mengenai Pemda DIY dalam penanganan Covid-19 selama ini.
Menurutnya, Pemda DIY tidak memiliki arah dalam penanganan dan pencegahan Covid-19.
Misalnya, lanjut dia, sejauh ini banyak pendatang yang masuk ke DIY tanpa adanya protokol yang ketat, baik itu di perbatasan maupun di level desa.
Kedua, arah status tanggap darurat yang tidak memiliki payung hukum yang jelas mengakibatkan penegak hukum kesulitan menindak para pelanggar.
"Saya terus terang kasihan dengan Satpol-PP mereka bekerja tidak bisa bertindak apa-apa hanya sporadis saja dalam menertibkan masyarakat. Karena payung hukumnya tidak jelas," terang dia.
(Tribunnews.com/Wahyu Gilang P) (TribunJogja.com/Miftahul Huda)