Dexamethasone Efektif Kurangi Risiko Kematian Pasien Virus Covid-19, Tersedia Luas di Pasaran
Obat steroid dexamethasone efektif membantu mengurangi risiko kematian pada pasien virus Corona, menurut para peneliti di Inggris.
Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Obat steroid dexamethasone efektif membantu mengurangi risiko kematian pada pasien virus Corona, menurut para peneliti di Inggris.
Temuan mereka masih awal dan belum diterbitkan dalam jurnal ilmiah.
Namun, hasil penelitian ini dianggap sebagai terobosan.
Dilansir CNN, dua peneliti utama dari Recovery Trial, sebuah penelitian besar di Inggris yang menyelidiki potensi penanganan Covid-19, menjelaskan hasilnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/6/2020).
Baca: Pemerintah Dukung Pengembangan Obat Corona oleh Universitas Airlangga
Baca: Obat Covid-19 Berhasil Ditemukan, Telah Terdaftar di BPOM dan Segera Beredar di Pasaran
Dalam keterangan konferensi pers, dexamethasone diberikan dengan dosis 6 mg sehari sekali hingga 10 hari.
Obat diberikan dalam bentuk suntikan atau diminum.
Hasilnya, dexamethasone dosis rendah selama 10 hari terbukti efektif mengurangi risiko kematian sepertiga pasien rawat inap yang membutuhkan ventilator udara.
"Itu adalah hasil yang sangat signifikan secara statistik," kata Martin Landray, wakil kepala penyelidik persidangan dan profesor di Oxford University.
Landray melanjutkan, temuannya tak hanya memberikan efek pada pasien yang kritis.
Pada pasien yang tidak menggunakan ventilator, tetapi memerlukan tabung oksigen, risiko kematian berkurang secara signifikan sekitar seperlima.
Namun, dia dan tim peneliti tidak menemukan manfaat apa pun pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit, tetapi memiliki kondisi paru-paru yang baik.
Itu berarti, dexametashone tidak berpengaruh apa pun pada penderita Covid-19 yang tidak menggunakan oksigen atau ventilator.
"Dalam uji coba, fokus kami adalah pada kematian. Yang jelas, obat dapat berpengaruh, tetapi hasil keseluruhan pada pasien yang menggunakan oksigen dan ventilator adalah bahwa dexamethasone memiliki manfaat," jelas Landray.
Lansray menerangkan, risiko kematian dalam penelitian ini menunggu selama 28 hari.
"Kami telah melihat, apakah ada kematian akibat infeksi lain, atau apakah ada risiko? Dan jawabannya tidak," tuturnya.
Para peneliti melaporkan, tidak ada efek samping yang serius pada pasien yang menggunakan dexamethasone.
Namun, hasilnya masih pada tahap awal.
Baca: Penanganan Covid-19 Pada Ibu Hamil, Selain Obat Fokus pada Pemenuhan Vitamin dan Mineral
Baca: Peneliti Unair Temukan 5 Kombinasi Obat yang Efektif Lawan Covid-19, Berikut Penjelasannya
Di samping itu, Landray memperingatkan agar masyarakat tidak boleh menggunakan dexametashone di rumah.
"Kami belum mempelajari pasien yang berada di rumah," kata Landray.
"Tidak ada efek pada pasien yang tidak menggunakan oksigen, dan kami tidak meneliti pasien yang tidak berada di rumah sakit," ujarnya.
Percobaan oleh Recovery Trial pada dexamethasone ditutup pekan lalu.
Kini, peneliti sedang mengkompilasi data.
Data termasuk sekitar 2.100 pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit yang secara acak mendapatkan dexamethasone.
Ditambah, sekitar 4.300 pasien virus Corona yang dirawat di rumah sakit, yang secara acak menerima standar perawatan di rumah sakit masing-masing.
Tersedia Luas di Pasaran dan Murah
Dexamethasone biasanya digunakan untuk mengobati beberapa jenis radang sendi, alergi parah, asma, hingga beberapa jenis kanker.
Efek samping penggunaan obat ini dapat berupa sakit perut, sakit kepala, pusing, susah tidur, dan depresi.
Di Amerika Serikat, dexamethasone telah digunakan untuk mengobati beberapa pasien Covid-19 selama pandemi.
Ketika diberitahu tentang hasil awal penelitian Recovery Trial, Dr. Mangala Narasimhan, direktur regional untuk perawatan kritis di Northwell Health, mengatakan, "Kami telah menggunakannya sebagai obat Covid sejak awal."
Meskipun begitu, dexamethasone telah menjadi obat yang kontroversial ketika digunakan untuk mengobati infeksi virus pernapasan.
"Ini adalah obat yang tersedia di pasaran, murah, dan mudah dikonsumsi. Memang ada manfaat pada masa lalu untuk mengobati infeksi pernapasan akibat virus, tetapi ini menjadi area kontroversi yang besar," tutur Peter Horby, kepala peneliti untuk Recovery Trial dan seorang profesor di Oxford University.
Horby mengungkapkan, obat streoid pernah digunakan untuk mengobari SARS1 pada 2003 silam, tetapi pada dosis yang sangat berbeda.
Beberapa penelitian menunjukkan bahaya steroid pada SARS.
Sementara itu, beberapa lainnya mengatakan ada kemungkinan manfaat dari steroid.
Sebuah meta-analisis dalam 29 studi berbeda akhirnya tidak dapat disimpulkan.
"Ada juga hasil yang tidak meyakinkan pada MERS dan juga influenza," kata Horby.
"Jadi, penggunaan steroid pada pasien dengan penyakit pernapasan akibat virus telah menjadi perdebatan besar yang berkelanjutan, apakah harus atau tidak menggunakannya," imbuh Horby.
Di sisi lain, Sir Patrick Vallance, kepala penasehat ilmiah Pemerintah Inggris, memberikan respons yang berbeda.
"Ini adalah kabar yang luar biasa dari Recovery Trial yang menunjukkan bahwa dexamethasone adalah obat pertama yang mengurangi angka kematian Covid-19. Ini sangat menarik karena obat tersebut murah dan tersedia secara luas," ucap Vallance.
Vallance melanjutkan, penelitian tersebut merupakan perkembangan yang luar biasa dalam perjuangan melawan penyakit.
Para peneliti disebut telah maju dalam menemukan pengobatan yang efektif.
"Ini menunjukkan pentingnya melakukan uji klinis berkualitas tinggi dan mendasarkan keputusan pada hasil coba itu," terangnya.
Kini, para peneliti dan dokter di seluruh dunia meminta tim Recovery Trial untuk merilis datanya tentang dexametashone sebagai obat yang potensial bagi penderita virus Corona yang kritis.
"Berdasarkan pada percobaan ilmiah tim Oxford pada lebih dari 6.000 pasien menunjukkan bahwa dexamethasone - obat yang umum, banyak digunakan, dan murah - dapat menyelamatkan nyawa pasien Covid-19 yang parah," kata Robin Ferner, profesor farmakologi klinis di University of Birmingham dan dokter konsultan kehormatan di City Hospital Birmingham, dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Science Media Centre, Selasa (16/6/2020).
"Ini bukan pengobatan untuk penyakit ringan."
"Kami berharap, data yang menjadi dasar dari hasil ini akan dipublikasikan sesegera mungkin, sehingga dokter dapat mempraktikkan pengobatan ini dengan yakin," imbuhnya.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)