Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kepanasan di Balik Pakaian APD hingga Dimaki Pasien, Cerita Perawat di RSD Wisma Atlet Kemayoran

Kini D sudah pulang ke rumah, dia direncanakan akan kembali bertugas di Wisma Atlet pada September mendatang.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Kepanasan di Balik Pakaian APD hingga Dimaki Pasien, Cerita Perawat di RSD Wisma Atlet Kemayoran
TRIBUN/HO
Petugas medis berfoto bersama dengan ceria saat akan menangani pasien Covid-19 di RS Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Rabu (6/5/2020). Wisma Atlet Kemayoran telah dialihfungsikan menjadi RS Darurat Covid-19, setelah pandemi Virus Corona mendera Indonesia. TRIBUNNEWS/HO 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sampai saat ini tenaga medis masih menjadi ujung tombak negara untuk memerangi Covid-19.

Mereka masih menjadi garda terdepan walau satu per satu mulai berjatuhan, dari dokter, perawat, hingga sopir ambulans sekalipun.

Rasa takut tertular mau tidak mau dipendam dalam-dalam.

Semua dilakukan hanya demi menyelamatkan nyawa satu orang yang bahkan mereka tidak kenal.

Namun, di satu sisi mereka hanyalah manusia biasa.

Punya hati, perasaan, bisa mengeluh, lelah, bahkan menangis. Siapa yang mau peduli?

Kadang sisi humanis itu yang luput dari masyarakat.

Berita Rekomendasi

Lelah dan tangis mereka dalam melayani tertutup rapi di balik pakaian alat pelindung diri (APD) nan tebal.

Baca: Update RS Wisma Atlet 12 Agustus: Pasien Positif Covid-19 yang Dirawat Bertambah 40 Orang

D (25) salah satunya.

Dia adalah satu dari perawat-perawat yang bekerja di Wisma Atlet Kemayoran. Kepada Kompas.com, dia bersedia membagikan kisahnya.

Wanita yang sebelumnya bertugas di salah satu rumah sakit di Jakarta ini sudah berada di Wisma Atlet Kemayoran sejak Mei 2020.

Merawat pasien tentu bukan hal baru bagi D.

Namun, dia tetap memiliki kesan pertama kala bertugas di salah satu pusat penanganan Covid-19 di Jakarta itu.

“Hari pertama kerja, panas,” ucap dia lugas.

Panas dia rasakan ketika mengenakan APD berupa baju hazmat. Dia menyebutkan bahwa baju itu tebalnya setara dengan terpal.

Selain itu sarung tangan yang dipakainya pun berlapis, masker juga berlapis, sepatu boots dan pelindung wajah alias face shield.

Tak tanggung-tanggung, D harus memakai pakaian itu selama delapan jam penuh dalam sehari.

“Enggak boleh makan, enggak boleh minum, enggak boleh buang air. Bayangin,” ucap dia.

Hampir setiap hari setelah selesai bertugas, baju dalam yang dia pakai basah lantaran dibanjiri keringat.

Sesekali D memandangi telapak tanganya yang selalu mengeriput kala melepas APD dari badan.

Sebagian dari teman-temannya memakai pampers agar bisa buang air kecil selama bertugas.

Namun, D tak melakukan itu. Dia memilih tidak makan dan minum banyak sebelum bertugas agar tak banyak buang air.

Namun, lambat laun D mulai terbiasa dengan situasi itu. APD layaknya pakaian sehari-hari yang sudah tidak perlu dikeluhkan lagi.

Dimaki maki pasien

Pekerjaan D mengharuskan dirinya untuk dekat dengan pasien. Dari mulai pasien yang ramah maupun tidak ramah sudah dia temui di sana.

Bahkan, tak jarang para perawat menjadi sasaran amarah para pasien.

Banyak pasien yang memaki perawat lantaran tidak kunjung diperbolehkan pulang. Hal itu dikarenakan hasil swab yang masih positif.

“Ada yang bilang, ‘Suster tuh enggak ngerti ya perasaan kita, kita tuh mau pulang. Kenapa kita positif terus'. Jadi nyalahin kita hasil tesnya positif terus,” kata D.

Perasaan dongkol pun muncul di antara D dan perawat lain.

Bayangkan saja, sudah seharian bekerja, lelah memuncak, jumlah pasien meningkat, ditambah lagi harus menghadapi orang seperti ini.

Namun, emosi itu harus diredam dan sebisa mungkin tetap melayani pasien dengan ramah.

“Sampai kita bilang, ‘Ya sudah ibu maunya gimana? Kalau mau pulang, silakan ibu bikin surat pernyataan mau pulang paksa. Ibu bikin keteragan dari RT dan RW mau menerima ibu dengan statusnya masih positif’, akhirnya mereka enggak mau,” jelas dia.

Selain makian, tak jarang pula D dan perawat lain mendapat perlakuan baik dari pasien. Sesekali, pasien mengirimkan makanan untuk para perawat. Mungkin sebagai ucapan terima kasih karena mau bertugas dengan ikhlas.

Tentu D dan teman-temannya senang. Tindakan sederhana itu membuktikan bahwa masih ada yang mau menghargai lelahnya kerja para perawat.

Makanan itu kerap dikirim ke tower 2 dan 3 tempat para perawat tinggal.

“Jadi nanti makananya diantar ke satpam tower, baru ditanya makanannya atas nama siapa biar dianterin,” ujar D.

Perlakuan masyarakat

Kadang kala, rasa kecewa para perawat tidak timbul karena perilaku pasien saja. Masyarakat umum, bahkan kerap memperlakukan para perawat dengan tidak baik.

Disudutkan dan dijauhi masyarakat sering sekali dirasakan DA dan teman-teman perawat lainya.

D misalnya, ketika sedang tidak berdinas, dia menyempatkan diri beristirahat dan membeli minum. D yang masih berada di dalam lingkungan Wisma membeli minum di warung yang berada di luar, hanya pagar yang memisahkan mereka.

Namun, saat ingin membeli, D kerap kali tidak dilayani.

“Dia enggak mau melayani kita, gara-gara dia takut. Tapi orang lain dilayani,” ucapnya.

Saat makan pun sama, pernah suatu ketika teman perawatnya mendapat jatah pulang dan sebelumnya sudah dikarantina 14 hari.

Ketika pulang, teman D ingin makan di sebuah warung nasi yang pagi itu baru buka. Awalnya dia dilayani dengan baik, ketika sang penjaga warung melihat teman D memakai baju bertuliskan Wisma Atlet, seketika perlakuan berubah.

“Pas ibunya (penjaga warung) melihat baju temen saya, dia bilang, ‘Maaf sudah habis makanannya, sudah mau tutup’,” katanya.

Belum lagi mendengar komentar-komentar masyarakat yang tak berdasar. Seketika emosi D memuncak ketika ada yang bilang bahwa Covid-19 adalah konspirasi, ajang rumah sakit cari uang, Covid-19 tidak ada.

“Saya sendiri yang mengalami langsung. Mana ada cari untung di sana? Saya sendiri harus ngerasaain susahnya ngambil napas demi napas cuma untuk kalian, orang-orang yang saya enggak kenal. Jadi kesal aja,” kata D.

Baca: Order Sepi Selama Pandemi Covid-19, Pengusaha WO Berupaya Bunuh Diri Lompat dari Tower

Ditambah lagi saat melihat warga yang tidak taat protokol kesehatan.

Mall dibuka dan banyak kerumunan di rumah makan membuat hati D meringis. Seperti kecewa tetapi tak tahu harus bilang ke siapa.

Seperti tidak menghargai tugas para tenaga medis yang berulang kali mengimbau agar tidak keluar rumah.

“Saya bingung. Jangan-jangan saya yang salah karena cuma saya yang takut untuk keluar rumah,” ucap D.

Harapan sederhana

Kini D sudah pulang ke rumah, dia direncanakan akan kembali bertugas di Wisma Atlet pada September mendatang.

Berjibaku dengan tebalnya APD dan ribuan watak pasien pun akan dihadapinya lagi.

Saat ditanya, apa harapan seorang D di tengah situasi pandemik ini? Dia pun menjawab.

“Pengin banget semua (Covid-19) kelar. Pengin jalan-jalan, pengin liburan, kangen enggak sih bisa jalan-jalan kayak dulu?” ungkapnya.

Mungkin D sudah merancang dengan matang ke mana saja dirinya akan pergi ketika pandemi Covid-19 ini berakhir.

Benar-benar sebuah harapan yang sederhana.

Membuktikan bahwa para perawat juga seorang manusia biasa, ingin liburan, ingin bersenang-senang dan lepas dari bayang-bayang Covid-19.

Namun, perjuangan mereka menuju masa liburan indah masih panjang. Belum tahu pasti kapan pandemi akan berakhir.

Selama waktu yang belum pasti itulah mereka akan terus bekerja dan bertaruh nyawa. Tidak banyak sebenarnya yang mereka minta.

Mereka hanya berharap dihargai dan dapat dukungan masyarakat selama bertugas.

Dua hal sederhana itu mungkin akan jadi pemicu semangat mereka bertugas. Dukungan itu dapat melupakan rasa lelah bahkan ketakutan mereka menjadi korban Covid-19 selanjutnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Perawat di Wisma Atlet Kemayoran: Lelah, Makian, dan Harapan"

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas