Mengenal Istilah Sindemi, Kondisi yang Menggambarkan Covid-19 Saat Ini, Apa Bedanya dengan Pandemi?
Belakangan muncul istilah Sindemi, saat pandemi covid-19 belum berakhir sebenarnya apa sih arti sindemi? Berikut penjelasannya.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - Istilah pandemi Covid-19 kerap didengar saat kasus virus coorna masih terjadi di berbagai negara di dunia termasuk di Indonesia.
Hingga kini belum ada tanda-tanda pandemi Covid-19 akan berakhir.
Saat pandemi Covid-19, muncul juga beragam istilah di dunia kesehatan salah satunya adalah istilah pandemi.
Belakangan muncul istilah Sindemi, sebenarnya apa sih arti sindemi? Berikut penjelasannya.
Dikutip dari Kompas.Com, penularan virus corona penyebab pandemi Covid-19 masih terus terjadi di berbagai belahan dunia.
Baca juga: Penulis Malcolm Galdwell Cerita Soal Kreativitas di Masa Pandemi Covid-19
Baca juga: Kasus Kumulatif Covid-19 Bertambah, Dokter Reisa Sebut Tren Angka Kesembuhan Meningkat
Diberitakan Kompas.com, Jumat (13/11/2020), mengutip data dari Worldometers pukul 05.15 WIB, virus corona telah menginfeksi sebanyak 53.003.790 orang di seluruh dunia.
Covid-19 juga telah mengakibatkan kematian global 1.297.476 orang, sedangkan sebanyak 36.922.736 orang dikabarkan sembuh dari infeksi virus corona.
Sementara itu, ada lima negara yang tercatat memiliki kasus infeksi tertinggi virus corona, yaitu:
Amerika Serikat: 10.840.868 kasus
India: 8.727.900 kasus
Brasil: 5.779.383 kasus
Perancis: 1.898.710 kasus
Rusia: 1.858.568 kasus
Muncul istilah sindemi
Kendati berbagai strategi dan kebijakan telah dilakukan, sejumlah ilmuwan dan pakar kesehatan menilai hal itu masih terlalu terbatas untuk menghentikan laju infeksi yang disebabkan virus corona baru, SARS-CoV-2.
"Semua intervensi kita berfokus pada memotong jalur penularan virus untuk mengendalikan penyebaran patogen," kata Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet, seperti dikutip BBC, Kamis (12/11/2020).
Melihat kondisi Covid-19 saat ini, Horton menilai semestinya bukan dianggap sebagai pandemi, melainkan sebagai "sindemi".
Sindemi adalah akronim yang berasal dari kata sinergi dan pandemi.
Artinya, penyakit seperti Covid-19 tidak berdiri sendiri.
Lantas, apa itu sindemi?
Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan, istilah sindemi pertama kali dikemukakan oleh Merrill Singer pada pertengahan 1990-an.
" Sindemi adalah kumpulan atau kejadian dari dua atau lebih epidemi secara bersamaan atau berurutan atau bisa juga suatu kejadian kelompok penyakit dalam suatu populasi dengan interaksi biologis, yang memperburuk prognosis dan beban penyakit yang sudah ada," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (13/11/2020).
Namun, Dicky mengatakan bahwa sindemi bukanlah bagian gradasi atau perubahan tingkat yang dikenal dalam bidang public health.
Dia mengatakan, ada beberapa tingkatan dalam bidang tersebut, secara berurutan yaitu: Wabah lokal atau Kejadian Luar Biasa (KLB) Wabah nasional atau Bencana Nasional Epidemi Pandemi
"Selain itu enggak ada lagi. Saat ini belum ada hierarki yang dianggap lebih tinggi daripada itu," kata Dicky.
Dia mengatakan, sindemi adalah sebuah pendekatan metodologis yang berasal dari kata sinergitas dan epidemi.
Artinya, ada beberapa epidemi di suatu negara, benua, atau global yang bersinergi menjadi masalah kesehatan, baik itu regional, nasional, maupun global.
"Contoh dari pendekatan sindemi ini antara lain obesitas dengan diabetes dan penyakit jantung. Itu jadi sindemi. Karena obesitas itu kan orang overweight, nah orang overweight itu bersinergi menjadi orang yang gampang terkena diabetes," kata Dicky.
"Sehingga epidemi diabetes juga meningkat. Kemudian orang yang obesitas dan diabetes, gampang banget terkena penyakit jantung atau stroke. Itu juga epidemi, karena sekarang hal itu sudah mengglobal juga, di banyak negara terjadi," imbuhnya.
Sindemi Covid-19 Dicky mengatakan, sindemi Covid-19 memang terjadi di beberapa negara yang terdampak parah Covid-19, seperti Amerika Serikat.
"Sinergitas itu terjadi antara Covid-19 dengan orang obesitas, orang diabetes, orang penyakit jantung, hipertensi, ini membuat kondisi Covid-19 nya semakin buruk," kata Dicky.
"Ditambah lagi kalau sindemi ini tidak hanya di aspek tersebut tapi juga health determinant, seperti akses pelayanan kesehatan, dan ekonomi.
Sehingga semua faktor ini bersinergi membuat perburukan pengendalian pandemi satu negara," imbuhnya.
Dilansir dari The Lancet, 22 Oktober 2020, Emily Mendenhall, dari Science, Technology, and International Affairs Program, Edmund A Walsh School of Foreign Service, Georgetown University, mengatakan bahwa kondisi sindemi tidak bisa digeneralisir secara global.
Dia menyebut ada konteks yang berbeda dalam penanganan pandemi di setiap negara, sehingga tidak semua negara bisa dikatakan mengalami sindemi Covid-19.
Mendenhall memaparkan, Amerika Serikat bisa disebut mengalami sindemi berkat berbagai faktor, seperti kebijakan dari pemerintah, dan rasialisme yang mengakar secara sistemik.
Hal itu menurutnya mendorong angka kematian dan penularan Covid-19 di AS menjadi tinggi.
Di sisi lain, Medenhall menyebut, kondisi sindemi tidak bisa dikatakan terjadi di Selandia Baru.
Karena berkat kebijakan penanganan yang tepat, Selandia Baru berhasil merespon krisis Covid-19 dengan baik.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dicky juga menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh Medenhall.
Menurutnya, sindemi melibatkan banyak faktor yang ada di suatu negara, sehingga tidak bisa disamakan dengan negara lain.
"Kalau negara seperti Selandia Baru atau Australia, yang penyakit lainnya cenderung terkendali, maka sinergitas itu tidak terpenuhi," kata Dicky.
Namun, Dicky mengungkapkan bahwa kondisi Covid-19 di Indonesia saat ini sudah tepat untuk disebut sebagai sindemi. "Kalau Indonesia sudah pas.
Misal sindemi Covid-19 pada anak. Infeksi Covid-19 pada anak di Indonesia memang secara angka belum terlalu kelihatan, karena rendahnya cakupan tes pada anak," ujar Dicky.
"Tapi kalau dibandingkan dengan negara lain kita salah satu yang paling tinggi.
Nah, kalau kita lihat dari aspek sindemi, angka infeksi Covid-19 pada anak di Indonesia itu tinggi karena cakupan imunisasi bisa jadi pada masa pandemi ini menurun," imbuhnya.
Cakupan imunisasi itu akan memengaruhi banyak aspek lain, terutama daya tahan tubuh dari anak dan potensi infeksi wabah lain.
Selain itu, Dicky juga menyebut stunting di Indonesia termasuk epidemik.
"Stunting di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia, dan ini berkontribusi pada Covid-19. Jadi kalau melihat sindemi kayak gitu. Selain itu kalau sindemi pada anak juga ada masalh lain, yaitu sanitasi dan hygiene," kata Dicky.
"Walaupun di kota, tapi kalau di lingkungan kumuh, itu sanitasi dan hygiene-nya jelek. Nah ini berkontribusi pada anak yang tinggal di lingkungan itu untuk cenderung memiliki daya tahan tubuh rendah, gizi buruk, sehingga ketika orang tuanya terinfeksi Covid-19, kemungkinan dia terinfeksi akan lebih mudah. Nah sindemi seperti itu analisisnya," katanya melanjutkan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Muncul Istilah Sindemi Covid-19, Apa Itu?"