Kasus Varian Corona Eek atau E484K yang Heboh di Tokyo Ditemukan di Jakarta, Lebih Cepat Menular
Varian corona Eek atau varian baru kode E484K telah ditemukan di Indonesia. Kasus tersebut terdeteksi di DKI Jakarta.
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Varian corona Eek atau varian baru kode E484K telah ditemukan di Indonesia. Kasus tersebut terdeteksi di DKI Jakarta.
"Ada satu kasus di DKI Jakarta," ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi saat dikonfirmasi, Senin (5/4/2021).
Baca juga: Satu Kasus Varian Corona Eek Atau E484K Ditemukan di DKI Jakarta
Baca juga: Riset WHO Sebut Mutasi Varian Baru Covid-19 Tak Berdampak Negatif pada Keampuhan Vaksin
Ia mengatakan, sampel spesimen tersebut dikumpulkan pada Februari oleh lembaga Eijkman yang kemudian dilaporkan ke GISAID, lembaga yang melakukan pemantauan hasil pemeriksaan genome sequencing untuk melacak mutasi corona.
"Kita monitor saja karena ini spesimen Februari dan sampai saat ini tidak menemukan varian baru lagi," ungkap perempuan berhijab ini.
Sebelumnya, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta masyarakat untuk semakin disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Pernyataan Wiku Tersebut terkait dengan temuan varian baru virus Corona dengan kode E484K.
Baca juga: Pakar Ungkap Studi Terbaru Mutasi B117, Berisiko Lebih Fatal Jika Terinfeksi
Baca juga: Kondisi Terkini Warga Bogor yang Terinfeksi Mutasi Corona B117, Jubir Kemenkes Sebut Sehat
"Varian E484K merupakan hasil mutasi dari varian B117. Mutasi E484K yang terjadi pada protein spike adalah mutasi yang sama seperti ditemukan pada varian Afsel atau Brazil," kata Wiku dalam Konferensi Pers virtual, Kamis, (1/4/2021).
Heboh di Tokyo, Ditemukan Menginfeksi Pasien Covid-19 Dua Bulan Terakhir
Varian baru virus corona dengan kode E484K dilaporkan banyak menginfeksi pasien positif Covid-19 di Tokyo, Jepang selama dua bulan terakhir ini.
Dikutip dari Reuters, 12 dari 36 pasien positif terinfeksi varian baru ini.
Dilansir Kompas.com, Media Jepang NHK pada Minggu (4/4/2021) melaporkan mutasi E484K, yang dijuluki "Eek" oleh beberapa ilmuwan, ditemukan pada 10 dari 14 orang yang dites positif terkena virus Covid-19.
Data itu diambil dari uji Covid-19 di Rumah Sakit Medis Universitas Kedokteran dan Gigi Tokyo, pada Maret.
Selama dua bulan hingga Maret, 12 dari 36 pasien Covid membawa mutasi “Eek”. Padahal tidak ada dari mereka yang baru-baru ini bepergian ke luar negeri atau melaporkan kontak dengan orang yang mengalaminya, katanya melansir Reuters.
Pejabat rumah sakit tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.
Baca juga: Hanami di Jepang Langgar Aturan, Kasus Covid-19 di Tokyo Meningkat Lagi Jadi 430 Orang Per Hari
Baca juga: Juli 2021 Pertumbuhan Kasus Covid-19 di Tokyo Bisa Melebihi 1.200 Orang Per Hari
Menjelang Olimpiade musim panas yang dijadwalkan dimulai pada Juli, Jepang bergulat dengan gelombang infeksi baru.
Pakar kesehatan sangat prihatin tentang penyebaran varian mutasi Covid-19, sementata vaksinasi skala besar untuk masyarakat umum belum dimulai.
Pada Jumat (2/4/2021), 446 infeksi baru dilaporkan di Tokyo. Jumlah itu memang masih jauh di bawah puncak infeksi pada pada Januari dengan lebih dari 2.500 per hari.
Di Osaka, tercatat 666 kasus dilaporkan. Pakar kesehatan telah menyatakan keprihatinan tentang penyebaran di sekitar kota metropolitan barat dari varian mutasi Covid-19 yang diketahui juga telah muncul di Inggris.
NHK mengatakan tidak ada pasien di rumah sakit Tokyo yang membawa strain Inggris.
Hasil Mutasi Varian B117, Satgas Sebut Lebih Menular
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, varian E484K merupakan hasil mutasi dari varian B.1.1.7.
Ia mengatakan, berdasarkan penelitian varian tersebut memiliki sifat cepat menular. Sehingga masyarakat diminta semakin disiplin menerapkan protokol kesehatan.
"Berdasarkan hasil penelitian varian ini lebih cepat menular. Masyarakat diminta tetap patuhi protokol kesehatan setiap aktivitas yang dilakukan sebagai upaya cegah terjadinya penularan," kata Wiku.
Sebagai upaya antisipasi pemerintah terus melakukan whole genome sequencing (WGS) untuk memetakan berbagai varian Covid-19 yang ada di Indonesia.
Selain itu, WNI dan WNA yang datang dari luar negeri harus melakukan proses skrining di pintu masuk kedatangan.
"Pemerintah juga terus lakukan WGS untuk memetakan varian Covid-19 yang masuk di Indonesia sambil mempertahankan proses screening pada saat WNA atau WNI masuk ke Indonesia," jelasnya.
WHO: Ada Kemungkinan Covid-19 Menular dari Manusis ke Kucing dan Anjing
Sementara itu ada kabar baru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkonfirmasi adanya kemungkinan penularan virus corona (Covid-19) dari manusia ke kucing, anjing, cerpelai, rakun, singa dan harimau.
Lembaga tersebut juga mempelajari efek virus itu pada spesies hewan lain.
Seperti yang disampaikan perwakilan WHO untuk Rusia, Melita Vujnovic pada hari Senin waktu setempat.
"Virus Covid-19 menyebar terutama melalui penularan dari manusia ke manusia, namun ada bukti yang menunjukkan penularan dari manusia ke hewan, karena itu adalah virus zoonosis," kata Vujnovic.
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (5/4/2021), ia juga mengatakan bahwa 'inang perantara' virus ini belum teridentifikasi.
"Beberapa hewan seperti cerpelai, anjing, kucing lokal, singa, harimau dan rakun yang bersentuhan dengan orang yang terinfeksi, dinyatakan positif Covid-19. Proses mempelajari efek virus ini pada spesies hewan lain pun sedang berlangsung," jelas Vujnovic.
Selain itu Vujnovic menegaskan, pentingnya mengetahui hewan mana yang paling rentan terhadap virus ini.
"Hal ini untuk menemukan reservoir hewan potensial lainnya serta untuk menghindari munculnya wabah serupa di masa mendatang," tegas Vujnovic.
Lebih lanjut, ia kemudian menekankan bahwa WHO merekomendasikan masyarakat yang positif terinfeksi Covid-19 untuk membatasi kontak dengan hewan peliharaan.
"Saat ini disarankan agar orang dengan Covid-19 dan orang yang berisiko terpapar, untuk membatasi kontak dengan hewan peliharaan dan hewan lainnya," papar Vujnovic.
Saat virus berpindah diantara populasi manusia dan hewan, modifikasi genetik virus pun dapat terjadi.
"Dan perubahan ini berpotensi menginfeksi manusia," pungkas Vujnovic.
(Tribunnews.com/Rina Ayu/Fitri/Kompas/Reuters)