Abdul Rachman Thaha Nilai Pemerintah Belum Siap Bangun Safeguard Penangkal Perdagangan Gelap Vaksin
Pelaksanaan vaksinasi berbayar di Indonesia menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Pelaksanaan vaksinasi berbayar di Indonesia menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.
Salah satunya adalah Anggota DPD RI, Abdul Rachman Thaha, yang ikut memberikan tanggapannya soal pelaksanaan vaksinasi berbayar.
Abdul menilai, saat ini pemerintah masih belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan vaksin palsu.
Menurut Abdul, kekhawatirannya ini beralasan, karena sejauh ini sudah banyak perlengkapan untuk penanganan Covid-19 yang sudah dipalsukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga: Soroti Adanya Vaksinasi Berbayar, Abdul Rachman Thaha: Indonesia Harusnya Tiru Malaysia dan Filipina
Di antaranya ada masker bekas pakai, oximeter palsu, hingga sertifikat palsu.
Lebih lanjut, Abdul menekankan jika nantinya terdapat vaksin palsu, maka inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum.
"Saya khawatir Pemerintah belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan penjualan vaksin palsu. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat berbagai perlengkapan dan peralatan untuk penanganan Covid-19 ternyata sudah dipalsukan dan beredar di masyarakat."
"Jika nantinya terbukti vaksin palsu itu lalu lalang tak terkendali, maka semakin nyata bahwa inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum yang luar biasa peliknya," kata Abdul dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Senin (12/7/2021).
Baca juga: Pelaksanaan Vaksinasi Mandiri Berbayar Ditunda, Kimia Farma Sebut Dapat Respons dari Banyak Pihak
Nilai Pemerintah Abai pada Sistem Prioritas Vaksin
Abdul pun mempertanyakan bagaimana pertanggungjawaban pemerintah dalam sistem prioritas pemberian vaksin.
Jika dulu yang diprioritaskan adalah tenaga kesehatan dan petugas layanan publik.
Lalu dilanjutkan dengan manula dan berikutnya orang dengan gangguan jiwa.
Menurut Abdul, kini ia tidak menangkap informasi terkait prioritas pemberian vaksin berikutnya.
Sehingga Abdul memandang perdagangan vaksin via apotek ini semakin memperkuat indikasi bahwa pemerintah kini justru abai terhadap sistem prioritas yang pernah dibangunnya sendiri.
Baca juga: Epidemiolog: Herd Imunity Tak Bisa Jadi Alasan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 Berbayar