Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Satgas Covid-19: Komunikasi Risiko Harus Diterjemahkan Berdasarkan Budaya Lokal Masing-masing

Kedua, masyarakat memahami protokol kesehatan yang dikerjakan itu adalah untuk melindungi diri, keluarga, atau orang dekatnya.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Satgas Covid-19: Komunikasi Risiko Harus Diterjemahkan Berdasarkan Budaya Lokal Masing-masing
Tribunnews.com/Rina Ayu
Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander K Ginting dalam Talkshow bersama Tribunnews.com, Kamis (10/6/2021). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Brigjen TNI (Purn) dr Alexander K Ginting S Sp P(K) FCCP mengatakan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan dan aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat untuk menangani covid-19 didapatkan dari proses.

Pertama yakni masyarakat memahami apa yang harus ia kerjakan.

Kedua, masyarakat memahami protokol kesehatan yang dikerjakan itu adalah untuk melindungi diri, keluarga, atau orang dekatnya.

Baca juga: Kemendikbudristek: Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 Dinamis Mengikuti Aturan Pemerintah

Untuk itu, kata dia, komunikasi risiko berperang penting.

Hal tersebut disampaikannya dalam Talkshow bertajuk "Update RSDC Wisma Atlet: Bangun Kolaborasi Atasi Pandemi" yang disiarkan di kanal Youtube BNPB Indonesia pada Kamis (15/7/2021).

"Komunikasi risiko itu tidak mungkin kita pakai dengan bahasa Jakarta, dengan bahasa yang dari media, yang sulit dipahami mungkin kalau itu di daerah atau bagi mereka yang rakyat pelaku pasar yang dengan menggunakan bahasa sehari-hari.

Berita Rekomendasi

Oleh karena itu memang untuk komunikasi risiko harus diterjemahkan berdasarkan budaya lokal masing-masing," kata Alex.

Baca juga: Malaysia akan Berhenti Gunakan Sinovac, Beralih Gunakan Vaksin Covid-19 Pfizer

Jika komunikasi risiko tersebut tidak diterjemahkan maka akan menimbulkan pengabaian atau penolakan dari masyarakat.

Ia mencontohkan dengan kasus yang terjadi di Bangkalan ketika mereka yang menuju Surabaya dilakukan penyekatan dan swab.

"Tapi karena ketidakmengertian, pencolokan hidung dan tenggorokan itu dianggap sesuatu yang membuat mereka merasa tidak diorangkan, diwongkan, akhirnya mereka memberontak," kata dia.

Demikian juga apabila masyarakat menganggap bahwa aturan-aturan yang dibuat pemerintah untuk menghindari kerumunan akan melonggarkan silaturahmi di antara mereka.

Baca juga: Begini Nasib 3 Elite PAN yang Bikin Pernyataan Kontroversi Terkait Covid-19

Padahal, kata dia, silaturahmi dalam masa pandemi tentu akan berbeda implementasinya.

Oleh karena itu, kata dia, perlu diajak tokoh-tokoh masyarakat, budaya, agama, di daerah untuk bisa bersama-sama menyampaikan bahwa pandemi adalah ancaman terhadap manusia karena penularannya antara manusia dengan manusia.

Sepanjang penularan itu masih terjadi, kata dia, maka virus covid-19 akan tetap ada.

Akan tetapi apabila masyarakat sudah saling jaga jarak dan tidak ada penularan sesama manusia, kata dia, maka virus covid-19 lambat laun juga akan hilang.

"Pemahaman inilah yang harusnya hadir di masyarakat dan kita pemerintah harusnya jangan mendikte, tetapi bagaimana kita menggunakan berbagai stakeholder kelompok elit yang ada di masyarakat, untuk bisa membahasakannya dengan bahasa budaya mereka, dan di dalam pekerjaan mereka sehari-hari, tentu ini harus sampai," kata Alex.

Ia pun sempat menyinggung adanya benturan antara aparat dengan masyarakat terkait penerapan PPKM darurat khususnya pedagang.

Menurutnya hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pemahaman.

Para pedagang, kata dia, menganggap kalau ada antrean baru bisa dikategorikan sebagai kerumunan.

"Padahal tukang bakso didampingi tukang teh botol didampingi lagi tukang jualan lainnya itu juga kerumunan. Oleh sebab itu sebetulnya juga harus dipahami. Mereka boleh berjualan makanan, tetapi antara sesama pedagang juga harus jaga jarak.

Jadi bukan hanya konsumennya yang jaga jarak, tetapi sesama mereka juga harus jaga jarak. Pesan ini tidak sampai. Sehingga akhirnya mereka duduk beramai-ramai di situ, dan kemudian masih ada tempat duduk," kata Alex.

Alex mengatakan semua hal tersebut tidak mungkin bisa diatur dalam instruksi Mendagri terkait PPKM.

Oleh sebab itu, pimpinan di wilayahnya masing-masing lah yang perlu melakukan inteevensi agar di satu sisi tidak merugikan pedagang namun di sisi lain juga tidak membahayakan dan meningkatkan rantai penularan.

"Tentu kepala wilayah ini harus bisa mengerti karakter masyarakatnya. Kalau di daerah kabupaten, kecamatan itu memang semuannya jualan buah, ya itu yang harus bisa dilakukan berbagai macam intervensi yang tidak merugikan orang juga, tetapi tidak membahayakan juga dalam rantai penularan covid. Oleh karena itu memang komunikasi inilah yang harus disampaikan," kata Alex.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas