Pakar Sebut Perlu Evaluasi 3 Hal Ini Agar PPKM Darurat Efektif
saat 10 hari berjalan, kasus Covid-19 melonjak cukup tajam, bahkan pada 14 Juli 2021 untuk pertama kalinya angka kasus baru menembus angka 50 ribu,
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kebijakan PPKM darurat telah berlangsung hampir 2 pekan sejak 4 Juli lalu.
Namun saat 10 hari berjalan, kasus Covid-19 melonjak cukup tajam, bahkan pada 14 Juli 2021 untuk pertama kalinya angka kasus baru menembus angka 50 ribu, tepatnya 54.517.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Tjandra Yoga mengungkapkan 3 pendekatan yang dapat menilai efektivitas PPKM darurat yang sudah dilaksanakan selama ini, yaitu epidemiologi, sistem surveilans dan sistem pelayanan kesehatan.
Pertama, epidemiologi yaitu dilihat dari jumlah kasus baru dan juga angka kepositifan.
Untuk evaluasi PPKM darurat dapat saja dipilih kalau angka kasus baru per hari sudah lebih rendah dari jumlah tertentu, misalnya di bawah 10.000 per hari.
Kemudian, angka kepositifan. Untuk ini maka memang sebaiknya dipakai patokan 5 persen agar menjamin penularan di masyarakat memang sudah rendah.
"Apalagi banyak negara tetangga kita (dan juga India) angkanya memang 2% atau 3% saja, kecuali negara tertentu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (19/7/2021).
Baca juga: Mendagri Terbitkan SE Penertiban PPKM, Ingin Pencegahan Covid-19 Prioritaskan Keselamatan Rakyat
Lalu yang kedua adalah kriteria surveilans kesehatan masyarakat, setidaknya dua hal yang harus dicapai, yakni jumlah tes yang dilakukan harus terus dinaikkan dengan amat tinggi, dan kegiatan dilanjutkan dengan telusur yang masif.
"Kalau India sudah berhasil melakukan tes pada sekitar 2 juta orang seharinya dan melakukan tes sampai 500 ribu sehari nampaknya patut dikejar untuk dicapai," ungkap Mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini.
Sesudah itu, setiap kasus positif perlu ditelusuri antara 15-30 kontak.
"Kalau diantara mereka ada yang ternyata positif COVID-19 maka harus ditelusuri lagi 15-30 kontaknya lagi, dan demikian seterusnya," kata dia.
Memang dengan jumlah tes yang besar dan akan ditemukan kasus yang lebih banyak, tapi ini mendapatkan gambaran yang sebenarnya terjadi dan dapat mengambil kebijakan.
Ketiga adalah kriteria sistem pelayanan kesehatan dalam evaluasi PPKM darurat maka dapat dilihat dari keterisian tempat tidur (“Bed Occupancy Rate – BOR”) rumah sakit.
Dalam hal ini harus diingat bahwa angka BOR bisa dapat fluktuatif, tergantung berapa banyak tempat tidur yang diperuntukkan untuk pasien COVID-19, sehingga kadang-kadang membaca angka BOR perlu secara kritis.
Satu hal yang amat penting dalam sistem pelayanan kesehatan juga adalah sumber daya manusia (SDM)nya, dokter, perawat dan petugas kesehatan lain.
Memang sudah ada berbagai upaya yang dilakukan, seperti pendayagunaan mahasiswa kedokteran/kesehatan yang sudah tahap akhir studinya serta kemungkinan relawan dokter dan perawat.
Bentuk inovasi lain yang diusulkan adalah pendekatan “3 R” tenaga kesehatan, yaitu Refungsi, Relokasi dan Rekrutmen, yang pernah dibicarakan di lingkungan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).
"Kita masih diterpa badai masalah COVID-19 yang perlu upaya penanggulangan maksimal, tidak cukp lagi hanya optimal. Hanya dengan kerja keras kita semua dengan peran masing-masing kita akan dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan bangsa ini," tutur Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes Kemenkes ini.