Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Kebijakan Tes PCR untuk Transportasi Untungkan Kelompok Bisnis
Kebijakan PCR diduga untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika dijadikan syarat perjalan
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai, penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas.
Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi.
Baca juga: Sejumlah Maskapai Gelar Promo Tes PCR, Mulai dari Garuda Indonesia, Lion Air Hingga Super Air Jet
Baca juga: Syarat Perjalanan Orang Dalam Negeri di Masa Pandemi Covid-19: Wajib Vaksin dan Tes PCR
"Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 (empat) kali," tulis keterangan tertulis yany diterima Minggu (31/10/2021).
Dipaparkan, saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp 2,5 juta.
Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp 900.000. 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp 495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India.
Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.
Perlu diingat ketika lonjakan angka positif Covid-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp 900.000 per tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut.
Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir (27/10) ini terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat.
"Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya. Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi," lanjut pesan tertulis itu.
Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut.
Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih. Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga.
Berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6 persen dari Rp 99,5 triliun.
Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.
Dari kondisi tersebut sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.
Terdapat 2 (dua) permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik olehpemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa.
Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR.
"Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya," jelas Koalisi
Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu. Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.
Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan.
Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya. Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat.
Adapaun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan terdiri dari sejumlah organisasi yakni ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru.
--