Ekonom INDEF: Kekayaan Nikel RI Bisa Ciptakan Dampak Positif Luas ke Perekonomian
Potensi nikel dalam negeri perlu dioptimalkan menjadi sumber baterai kendaraan listrik.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan potensi nikel dalam negeri harus dioptimalisasi menjadi sumber baterai kendaraan listrik.
Dirinya meyakini Indonesia bisa menjadi produsen utama baterai listrik jika hilirisasi mineral betul-betul dijalankan.
“Sekarang ini (komponen baterai, red) masih impor, memang rencananya 2026 paling cepat kalau ini dilakukan tentu saja multiplier ekonomi akan sangat tinggi sekali,” kata Tauhid saat agenda Bincang Dua Puluh di Jakarta, Selasa (11/10/2022).
Tauhid menilai manufaktur kendaraan listrik juga perlu masuk ke tahap perakitan karena sejauh ini masih Completely Build Up (CBU).
“Saya kira kalau kita bisa membangun di sini bukan yang small car tapi yang MPV dengan market antara 250-400 juta saya kira multiplier ekonomi juga besar sekali,” tukasnya.
Menurut dia, perakitan mobil listrik MPV di dalam negeri otomatis akan membuka lapangan pekerjaan lebih luas.
Dampak lainnya, lanjut Tauhid, ialah memberikan ruang produksi untuk industri pendukung seperti logam dan bahan baku.
“Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar minyak (BBM) praktis akan berkurang,” urai Tauhid.
Baca juga: Gugatan UE di WTO Tak Pengaruhi Program Hilirisasi Nikel Nasional
Namun, persoalan pemerintah disamping memberikan insentif kendaraan listrik juga tidak lagi menyediakan BBM yang terjangkau.
“Selama harga BBMnya masih murah, karena Indonesia termasuk yang ekonomis maka tidak mudah mengubah masyarakat untuk transisi ke listrik,” paparnya.
Tauhid memandang memang tidak mudah mengubah mindset masyarakat Indonesia untuk menyadari kepentingan lingkungan.
Masyarakat Indonesia tipikal realistis yang melihat penggunaan kendaraan berdasarkan nilai keekonomian.
Baca juga: Bea Cukai Beri Izin Fasilitas Kawasan Berikat ke Perusahaan Pengolah Nikel
“Hasil riset kami selama harga mobil listrik masih dua kali lipat dari yang konvensional, masih belum ketemu angkanya,” kata Tauhid lagi.
Dia menambahkan market mobil listrik di Indonesia dengan harga Rp300 jutaan paling memungkinkan untuk mendorong transisi dari energi BBM ke listrik.
Tertinggal dari Negara Lain
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendukung migrasi mobil konvensional ke listrik meskipun ada banyak tantangan yang dihadapi.
Tulus menekankan insentif kendaraan bermotor baik itu mobil dan motor harus totalitas agar masyarakat akhirnya mau beralih.
“Dari aspek kualitas udara sangat positif penggunaan mobil listrik namun perlu insentif dan kepastian jangka panjang karena kita pakai kendaraan untuk lebih dari lima tahun,” katanya.
YLKI menyinggung Research Octane Number (RON) BBM di Indonesia yang masih rendah tertinggal dari negara lain.
Baca juga: MMS Group Teken Kontrak Data Center dan Pasokan Listrik untuk Smelter Nikel dengan PLN
Menurut Tulus, RON 90 seharusnya tidak boleh lagi digunakan di perkotaan sepert DKI Jakarta karena dampaknya buruk bagi lingkungan.
Kata dia, di beberapa negara justru sudah mengadopsi Euro 4 sedangkan Indonesia masih belum maksimal menerapkan standar Euro 2.
“Yang saya heran mengapa pemerintah masih memperbolehkan SPBU menjual RON 89, padahal RON 90 saja sudah tidak bagus untuk kendaraan dan emisi karbon yang dihasilkan,” pungkasnya.