DPD RI: Perlindungan Anak Harus Disikapi Serius
Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris meminta pemerintah menyikapi serius perlindungan anak
Penulis: Sponsored Content
TRIBUNNEWS.COM – Sepanjang bulan Juli 2015 terdapat beberapa kasus yang menuntut perhatian serius terhadap perlindungan anak. Mulai dari kasus penelantaran anak di Cibubur hingga kasus meninggalnya Angeline di Bali. Semua kasus itu menyiratkan bahwa perlindungan anak di Indonesia belum mencapai tahap yang menggembirakan.
Komite III DPD RI yang salah satu tugasnya membawahi bidang perlindungan anak, meminta pemerintah dan kementerian terkait menyikapi serius soal perlindungan anak di seluruh Indonesia. Berbagai terobosan diharapkan terjadi untuk memberikan pemahaman pada masyarakat, bahwa kekerasan anak merupakan kejahatan luar biasa.
Atas dasar itu, Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris menyarankan Presiden dapat mengeluarkan Inpres yang memerintahkan semua kementerian atau lembaga mempunyai program perlindungan anak.
Diharapkan, Inpres tersebut mampu memiliki kekuatan penuh untuk mengkampanyekan program perlindungan anak, sehingga angka kekerasan anak dapat menurun.
Sejauh ini beberapa kementerian telah memiliki program yang memiliki semangat perlindungan anak. Fahira mencontohkan, Kementerian Agama mempunyai program penyuluhan UU Perlindungan Anak bagi pasangan yang akan menikah, Kementerian Kesehatan mempunyai program Puskesmas ramah anak, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai kebijakan sekolah ramah anak.
Sementara mengenai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang menjadi kunci dalam hal perlindungan anak, Fahira menegaskan perannya harus ditingkatkan lebih maksimal lagi.
“Saya sedih melihat anggaran KPPPA yang begitu minim. Bahkan, lebih kecil dari anggaran direktorat jenderal salah satu kementerian. Harusnya KPPPA bisa jadi pemimpin dalam hal perlindungan anak. Akan tetapi, saya lihat perannya masih sebatas mengkoordinasikan saja. KPPPA itu kementerian masa depan, tapi anggarannya masih masa lalu,” ungkap Fahira pada Jumat (24/7/2015).
Sementara mengenai kementerian lain yang tidak berhubungan langsung dengan perlindungan anak, Fahira menyarankan langkah inovasi dapat dilakukan.
Misalnya dengan kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang satu isinya mewajibkan setiap pemerintah daerah melibatkan anak-anak untuk dimintai pendapat dan aspirasinya.
Hal tersebut dilakukan, menurut Fahira, karena anak-anak juga punya hak dalam menentukan wajah kota dan daerah yang mereka tempati.
“Mereka harus ditanya fasilitas apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung tumbuh kembang mereka. Indonesia ini bukan hanya milik orang-orang dewasa,” tutur Fahira.
Indonesia sendiri sejauh ini telah mempunyai produk hukum yang membahas soal perlindungan anak. Misalnya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun, Fahira berpendapat, sosialisasi produk hukum tersebut masih minim di masyarakat. Akibatnya, tidak heran jika kasus kekerasan anak selalu saja terjadi tiap tahunnya di Indonesia.
Padahal, jika sejak UU Perlindungan Anak itu diberlakukan dengan serius, pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat duduk bersama menyusun dan mengimplementasikan sistem perlindungan anak yang maksimal, sehingga kasus kekerasan anak dapat dicegah sejak dini.
Dari hasil dialog yang Fahira lakukan bersama para orangtua sejauh ini, Wakil Ketua Komite III DPD RI itu menyatakan banyak orangtua yang sama sekali tidak tahu UU Perlindungan Anak. Terlebih, di masyarakat sendiri masih terdapat keraguan untuk melapor ke pihak berwajib jika ada kasus kekerasan anak.
Keraguan masyarakat itu terjadi, kata Fahira, karena masih banyak orangtua yang belum paham kekerasan anak merupakan tindakan kriminal dan dapat dipidanakan.
“Mereka menganggap tindakan kekerasan anak adalah urusan internal keluarga, sehingga orang lain atau bahkan negara tidak boleh ikut campur,” ujarnya.
Atas dasar itu, ia mengharapkan pemerintah dapat serius menangani persoalan perlindungan anak ini. Sosialiasi peraturan yang mendukung pencegahan kekerasan anak harus dijalankan maksimal, sehingga masyarakat mempunyai pemahaman penuh atas hak-hak yang dimiliki anak.
Diharapkan, dengan sosialisasi peraturan yang maksimal tersebut, situasi kondusif bagi perkembangan mental anak-anak Indonesia pun dapat tercipta.
“Rumah dan orangtua harusnya jadi ‘surga’ bagi tumbuh-kembang anak. Tapi, dari beberapa kasus yang terkuak, rumah paling banyak menjadi lokasi kekerasan. Orang terdekat, terutama orangtua, juga paling sering menjadi pelaku kekerasan,” tambah anggota DPD RI asal DKI Jakarta tersebut. (advertorial)
Ikuti terus perkembangan terbaru dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hanya di Kabar DPD RI.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.