Komisi X DPR Harapkan Pemukulan Guru Tak Berulang Lewat Perbaikan Ekosistem Sekolah
Kasus Kekerasan yang menimpa Dasrul guru SMK Negeri 2 Makassar, Sulsel oleh Wali Murid dinilai Anggota DPR disebabkan tidak adanya komunikasi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kekerasan yang menimpa Dasrul guru SMK Negeri 2 Makassar, Sulawesi Selatan oleh Wali Murid ditanggapi oleh Anggota Komisi X DPR Sri Meliyana.
Sri menilai kekerasan disebabkan tidak adanya komunikasi antara sekolah dan wali murid.
Ia juga menyayangkan kasus seperti ini terus menerus terjadi.
“Ini menunjukkan tidak adanya komunikasi antara sekolah dan wali murid. Himbauan mengantarkan anak di hari pertama mereka sekolah antara lain untuk menghindari peristiwa-peristiwa seperti ini,” kata Meli, dalam pesan pendeknya yang dikutip dari Parlementaria, Senin (15/08/2016).
Menurutnya, seandainya pada saat hari pertama sekolah, orangtua mengantar anak ke sekolah, dan bertemu dengan guru-guru, pasti akan terjalin komunikasi diantara keduanya.
Oleh karena itu, ketika ada sesuatu yang terjadi, maka wali murid dapat berkomunikasi dan mempertanyakan persoalan sebenarnya.
Tidak malah main hakim sendiri dengan langsung melakukan kekerasan fisik pada guru
“Jika guru melakukan teguran berupa hukuman fisik, maka guru, apapun alasannya itu, akan terkena Undang-Undang Kekerasan Terhadap Anak. Dengan demikian guru harus mencari metode baru dalam memberikan hukuman pada anak,” imbuh Meli.
Sebab itu, tambah politisi F-Gerindra itu, jika wali murid bereaksi terhadap masalah guru dengan anak-anak, maka wali murid juga harus dikenakan hukum-hukum yang berlaku.
Namun, bukan hukum-hukum itu yang dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah guru dan siswa.
“Indonesia kehilangan banyak kebijakan mengenai penyelesaian masalah di sekolah. Tidak lagi mengutamakan asas menghormati guru, menyayangi murid, menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, dan kebijakan-kebijakan lain yang dulu kita jadikan jurus jitu utk menyelesaikan masalah,” ungkap Meli.
Untuk itu, politisi asal dapil Sumatera Selatan itu meminta agar ekosistem di sekolah harus segera diperbaiki.
Kemudian, komunikasi antara sekolah, murid dan orangtua harus ditingkatkan, sehingga masyawarah mufakat dapat dijadikan landasan untuk menyelesaikan semua permasalahan.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Yayuk Sri Rahayuningsih menyatakan, DPR perlu berinisiatif membuat regulasi yang mengatur proses belajar mengajar yang tepat di sekolah.
“Menurut saya perlu regulasi karena guru juga harus dilindungi,” tegas politisi F-Nasdem itu, dalam rilis yang diterima Parlementaria.
Ia mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap berbagai kasus yang menimpa guru.
Mulai dari kasus Samhudi, guru SMP Raden Rahmat, Sidoarjo, yang dilaporkan wali murid ke polisi hanya karena dicubit, hingga kasus kekerasan yang menimpa Dasrul di Makassar.
“Gimana ceritanya ini, zaman sudah berubah. Kalau dulu murid dimarahi, dihukum guru, biasa, dan efeknya murid takut. Bisa membuat efek jera. Zaman sekarang guru menghukum murid baru di cubit sudah kena pasal pelanggaran HAM,” ujar Yayuk.
Untuk itu, tambah politisi asal dapil Jawa Timur itu, pro kontra terhadap kasus ini, menurutnya tidak cukup adanya surat perjanjian antara sekolah dan orangtua siswa saja.
“Sekarang guru sudah tidak bisa lagi menggunakan kekerasan. Sudah bukan zamannya, sehingga persoalan guru ini harus diatur oleh sebuah regulasi. Banyak saat ini guru yang diperkarakan karena menghukum muridnya,” tutupnya. (Pemberitaan DPR RI)