Wakil Ketua Komisi X: Kondisi Keuangan Negara dalam Situasi Gawat
Pasalnya, dari proyeksi RAPBN 2017 Rp 2123 triliun, sebesar Rp 221 triliun habis terpakai membayar cicilan bunga hutang pemerintah.
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra menilai, kondisi keuangan negara dalam situasi gawat. Hal ini ia ungkapkan setelah mendapat informasi mengenai hasil rapat Badan Anggaran DPR dengan Menteri Keuangan beberapa wakutu lalu terkait kondisi RAPBN 2017.
Pasalnya, dari proyeksi RAPBN 2017 Rp 2123 triliun, sebesar Rp 221 triliun habis terpakai membayar cicilan bunga hutang pemerintah.
Ironisnya, angka ini bisa melonjak hingga lebih dari Rp 500 triliun, jika hutang pokok juga jatuh tempo dan harus dicicil dalam tahun anggaran yang sama pada tahun 2017.
“Seperempat APBN 2017 hanya untuk membayar hutang, sisanya untuk menutupi belanja rutin pemerintah yang makin besar, mana lagi dana untuk membangun,” kritisi Sutan, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Badan Ekonomi Kreatif, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (19/10/2016).
Politisi F-Gerindra itu menilai, kondisi gawat keuangan negara ini tidak bisa lagi di atasi dengan pemangkasan anggaran seperti sekarang, karena pada dasarnya yang dipotong itu sudah sangat kecil anggarannya.
“Sehingga, untuk menutupi kondisi ini pemerintahan Jokowi terus melaksanakan pembangunan fisik dengan dana pinjaman, akibatnya pemerintah terjebak dengan permainanan negara donor,” analisa politisi yang akrab dipanggil SAH itu.
Menurutnya, pemerintah tak sadar menerapkan kebijakan utang jangka pendek, yang digunakan untuk investasi jangka panjang, akibatnya proyek yang dibangun belum memiliki manfaat, namun kewajiban membayar hutang sudah datang. Hal ini bisa membuat pemerintah gagal bayar utang.
“Jika ini terjadi kita akan mulai menggadai apa yang ada untuk menalangi kebutuhan, padahal sekarang saja banyak BUMN kita yang sudah di gadai ke pihak luar,” imbuh politisi asal dapil Jambi itu.
Menyikapi hal ini, Sutan berharap pemerintah segera sadar dengan mengubah kebijakan utang luar negeri. Terutama pinjaman infrastruktur yang berbunga tinggi.