Peternak Rakyat Keluhkan Adanya Konglomerasi di Industri Unggas
Komisi IV DPR RI menerima audiensi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/19).
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Komisi IV DPR RI menerima audiensi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11/19). Kepada Komisi IV, Pinsar menyampaikan kondisi peternak rakyat mandiri yang semakin sulit menghadapi persaingan usaha tidak sehat di industri perunggasan.
Anggota Komisi IV DPR RI Slamet membenarkan hal tersebut, ia mengatakan industri peternakan rakyat terancam karena semakin tergerus dengan pengusaha besar. “Hari ini saya menerima dua asosiasi, perhimpunan dokter hewan dan pelaku bisnis unggas. Mereka mempermasalahkan hal yang sama, artinya negara belum hadir memberikan pembelaan kepada rakyat kecil,” kata Slamet.
Baca: Indikator Kesejahteraan DIY Tak Bisa Diukur Standar BPS
Politisi Fraksi PKS ini menuturkan, regulasi yang dipermasalahkan Pinsar ialah UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pinsar menyebutkan, sebelum adanya regulasi tersebut, hak usaha untuk budidaya diserahkan kepada peternak rakyat. Namun, kini hak budidaya juga diberikan ke perusahaan integrator. “Karena itu terkait regulasi, kita mendengarkan suara rakyat dan bila memungkinkan akan dilakukan revisi,” jelas Slamet.
Untuk tetap menjaga stabilisasi harga dan usaha peternak rakyat, dalam waktu dekat Komisi IV akan melaksanakan fungsi pengawasan untuk memastikan pemerintah betul-betul menerapkan aturan yang ada dan berpihak pada rakyat. ”Beberapa regulasi diantaranya kesepakatan stok dan bagaimana regulasi tentang integrator dilapangan, itu juga harus kita lakukan pengawasan. Jangan sampai integrator masuk ke pasar becek,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Pinsar Parjuni Jawa Tengah mewakili asosiasi perternak menuntut pemerintah turun tangan menstabilkan harga ayam hidup dan mengatur segmentasi pasar peternak mandiri dan integrator besar. Perusahaan integrator merupakan perusahaan peternakan unggas besar terintegrasi, mulai dari produksi pakan, daily old chick (DOC), sapronak, budidaya ayam, budidaya telur sampai produk olahan.
Menurutnya, saat ini baik integrator maupun peternak rakyat mandiri berebut dalam pasar yang sama, yakni pasar tradisional. Akibatnya, perbedaan Harga Pokok Produksi (HPP) ayam hidup yang dihasilkan integrator lebih efisien dibandingkan HPP Peternak Mandiri. “Kita membeli pakan dari integrator. Dari input saja kami sudah kalah, apalagi kalau kita di pasar yang sama dengan peternak besar, kita pasti kalah,” terang Parjuni.
Baca: DPR Dorong Pertamina Berikan Nilai Optimal Untuk Masyarakat
Ia juga menuntut pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang mengatur acuan harga DOC. Pasalnya, selama ini para importir DOC bebas menentukan harga tanpa ada acuan. “Kalau masalah harga DOC itu nasional. Memang kebijakan ada di breeding, hanya memang karena belum ada patokan batas atas dan batas bawah, jadi mereka leluasa menentukan harga,” tandasnya. (*)