Afifuddin Sebut Pemungutan Suara Ulang di 24 Daerah Tidak Sepenuhnya Jadi Kesalahan Jajaran KPU
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan pemungutan suara ulang di 24 daerah bukan sepenuhnya akibat kesalahan mereka.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah bukan sepenuhnya akibat kesalahan penyelenggara Pemilu.
Dalam rapat koordinasi PSU di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2025), ia menekankan ada berbagai faktor yang mempengaruhi situasi ini.
Menurut Afif, PSU terjadi karena kompleksitas aturan dan dinamika yang berkembang selama Pilkada 2024.
Ia menilai, KPU telah menjalankan tugas sesuai regulasi yang berlaku, tetapi ada sejumlah aspek yang berada di luar kendali penyelenggara pemilu.
“Bahwa apa yang kita lakukan tidak semuanya 100 persen karena kesalahan jajaran KPU,” ujarnya.
Salah satu faktor utama yang menjadi pemicu PSU adalah persoalan periodisasi kepala daerah.
Baca juga: 24 Daerah Gelar PSU pada Hari Sabtu, KPU Targetkan Partisipasi Pemilih Lebih Tinggi
Dalam Pilkada 2024, perdebatan tentang kepala daerah yang telah menjabat dua periode menjadi isu besar.
Menurut Afif, situasi ini belum banyak terjadi di Pilkada sebelumnya, sehingga diskusi mengenai aturannya baru mengemuka sekarang.
Selain itu, KPU juga menghadapi tantangan dalam verifikasi ijazah calon kepala daerah.
Proses ini tidak selalu berjalan mulus karena keterbatasan waktu, sementara keabsahan dokumen yang diserahkan calon sering kali baru terungkap setelah tahapan pencalonan selesai.
Baca juga: DPR RI Sebut APBD Tidak Sanggup Menanggung Biaya PSU Pilkada Sebesar Rp 1 Triliun
“Berkaitan dengan ijazah dan seterusnya. Ini juga terjadi dalam periode-periode sebelumnya. Ada orang pernah jadi bupati dua periode, ketika nyalon gubernur di satu daerah, kemudian tidak bisa karena diketahui ijazahnya tidak asli,” ungkap Afif.
Masalah lain yang berkontribusi terhadap PSU adalah status hukum calon kepala daerah. Beberapa calon diketahui tidak melaporkan bahwa mereka pernah menjadi terpidana.
KPU sendiri hanya bisa memverifikasi data berdasarkan dokumen resmi yang ada.
Selain itu, Afif juga menyoroti putusan dan rekomendasi Bawaslu, yang dalam beberapa kasus turut berperan dalam proses PSU.
Salah satu contohnya adalah di Gorontalo Utara, di mana seorang calon yang sebelumnya sudah dicoret akhirnya tetap mengikuti Pilkada setelah adanya keputusan Bawaslu.
“Tolong kita pahami ini dari satu kesatuan utuh, tidak boleh ada yang baper. Ini tantangan kita untuk meyakinkan dan menjelaskan ke semua pihak bahwa inilah kompleksitas pelaksanaan pemilu kita. Inilah kompleksitas pelaksanaan pilkada kita,” pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.